Arini

Thursday, May 25, 2017

Cerpen Arini


Belakangan, lelaki tiga puluhan itu mulai bercerita tentang masa lalunya. Seorang gadis kecil yang dua tahun terakhir membuat rasa bersalah semakin dalam menikam. Bukankah penyesalan memang selalu datang terlambat.

***


Arini menatap lekat wajah suaminya. Pukul dua belas malam, Sandi masih saja terbangun dan tampak gelisah di ujung tempat tidur. Bukan kebiasaannya. Setahun tinggal serumah, Arini bahkan tak pernah melihat lelaki berwajah teduh itu tidur lewat pukul sembilan malam. Dan tampaknya, seribu tanya menghampiri Arini ketika tanpa sengaja dia menoleh dan tak menemukan Sandi di sebelahnya.

“Belum tidur, Mas?” Tanya Arini seraya menghampiri.


Sandi bergeming. Tak ada sahutan kecuali tarikan napas panjang. Dia bahkan tak mengerti bagaimana memulai. Baginya, masalah cukup jadi beban sendiri. Tak perlu orang lain tahu apalagi istrinya. Mungkin saja kenyataan yang akan ia tuturkan justru menjadi belati yang pada akhirnya menyayat hati wanita terkasihnya.


“Mas baik-baik saja?” Arini kembali mempertanyakan. Dengan mata setengah terbuka, ia menggamit lengan suaminya, “sebaiknya lekas tidur. Atau mas akan melewatkan shalat malam.”


Terpaksa Sandi mengiyakan meski pada akhirnya tak sedetik pun mampu memejamkan mata.


Baginya, masa lalu tak lebih berharga dari kehidupannya saat ini. Mempersunting Arini membuat semua terasa sempurna meski hingga setahun belakangan, hati kecil mulai merindu kehadiran seorang anak. Arini tak mengidap penyakit serius. Sandi pun tak punya masalah berarti. Hanya saja soal waktu. Ya, waktu yang kadang menjadi sembilu dan lebih menyakitkan ketimbang goresan pedang sekalipun.


Orangtua Sandi mulai mempertanyakan, kapan mereka akan memberikan momongan. Sandi dan Arini hanya membalas dengan seulas senyum tipis. Ini bukan tentang mereka berdua, namun lebih soal waktu. Arini percaya, bahwa segala sesuatu yang ada di muka bumi akan terjadi dan sebaliknya tak pernah terwujud tanpa kehendak Mahakuasa.


“Sudah setahun, rasanya ingin cepat hamil. Teman-teman Arini bahkan sudah punya anak dua, Mas.” Kalimat itu terdengar sederhana namun terlalu sulit menjalaninya.


Sandi tersenyum, “Kalau sudah waktunya, pasti akan dimudahkan.” Kemudian menggenggam jemari istrinya, menguatkan. Sedetik kemudian, kedua mata Arini menggulirkan kristal. Buru-buru Sandi menghapusnya, merengkuh hangat seorang wanita yang sudah berbulan-bulan merindukan seorang malaikat tinggal dan hidup di dalam rahimnya.


Bukan perkara mudah merahasiakan keinginan. Setidaknya untuk enam bulan pertama pernikahan, Arini selalu berpura-pura baik-baik saja. Tidak ada yang salah dengan keluarga kecil mereka. Setelahnya, kerinduan akan malaikat kecil semakin menguat, terlebih ketika sahabat dan beberapa saudara sudah hamil dan melahirkan. Banyak orang tak mengerti bagaimana merindukan sosok mungil yang melengkingkan tangis di tengah malam. Mereka mengira itu bukan mimpi buruk dalam sebuah ikatan suci. Arini tahu betul, saat ini dia bahkan jauh lebih buruk dari sebelumnya.


Sandi menatap istrinya. Masih terisak dalam pelukan. Dia tak menyuruhnya berhenti. Mendiamkan dan membiarkan wanita itu menumpahkan kesedihan yang dipendamnya sendiri. Untuk saat ini, Sandi merasa tak perlu lagi membebankan. Namun, entah esok? Sebuah cerita kecil dalam masa lalunya harus diketahui pula oleh Arini.


Dulu, dia hanya mengatakan pernah menikah dengan seorang perempuan dari tanah Jawa. Arini tak mempermasalahkan. Tapi, tentang gadis kecilnya, seseorang yang saat ini berusia enam tahun dengan dua mata bulatnya yang indah, apakah Arini juga harus tahu? Atau biarlah menjadi rahasia kecil yang selalu disembunyikannya? Sandi menarik napas. Apakah karena kelalaiannya pada mahkluk kecil itu hingga membuat pernikahan mereka saat ini tak juga dikarunia anak? Kesalahan itukah yang pada akhirnya menyakiti istrinya, Arini? Jika benar, maka Sandi akan sangat merasa berdosa. Seharusnya mereka sudah menimang bayi, bukan malah menangis tercekat seperti sekarang.


Ah, ini hanya soal waktu. Sandi berbaik sangka. Allah tentu amat mengerti apa yang terbaik bagi kehidupan mereka. Tak apalah menunggu beberapa bulan lagi. Waktu akan tetap sama menyenangkan dan riang bersama istri tercinta. Wanita itu sungguh telah menjadi pijar dalam hidupnya. Arini sangat berharga, laki-laki mana yang mau menggadaikan kebahagiaan wanita yang siap berkorban bahkan dengan nyawa sekalipun? Arini penuh syukur meski kehidupan mereka sederhana. Tak banyak mengeluh bahkan hampir tak pernah kecuali hari ini, ketika semua bebannya tiba-tiba membuncah.


“Mas nggak marah sama Arini?” Tiba-tiba wajah sembab Arini menyembul dari pelukan Sandi. Marah? Kenapa harus marah?


Sandi menaikkan kedua alisnya. Mempertanyakan, “Tentang apa?”


Arini memperbaiki posisinya, mengusap sisa tangis, “Arini belum bisa memberikan keturunan,” suaranya tercekat. Rasanya kalimat itu begitu sulit diucapkan.


Sandi menggeleng. Dia tak pernah mempermasalahkan. Jodoh dan keturunan sudah ditentukan oleh Allah. Manusia hanya berusaha dan menjalaninya dengan ikhlas, “Untuk apa mempertanyakan itu? Mas sudah bahagia dengan kehidupan sekarang.”


“Setiap pernikahan pasti merindukan tangis bayi.” Arini menatap suaminya nanar.


“Semua merindukan, namun bukan berarti boleh menyalahkan atau bahkan menyesali sesuatu yang di luar kehendak kita.”


Arini tergugu. Meski jawaban itu cukup melegakan, namun rupanya tak juga membuat resahnya hilang. Dia tetap saja rindu dengan kehadiran seorang anak di antara mereka.


“Rin, Mas mau bicara sesuatu.”


“Tentang apa?”


“Tentang pernikahan mas dulu.”


Arini mengangkat wajah, menatap suaminya ragu. Masa lalu itu sudah dikubur dalam sekali. Sandi pernah membukanya sekali, saat mereka akan menikah sebulan sebelumnya. Tak banyak yang dikatakan. Hanya seorang perempuan dari tanah Jawa yang mengisi kehidupan suaminya. Perceraian bahkan sudah bertahun-tahun lalu. Arini merasa tak ada yang salah dengan semua itu.


“Sebenarnya Mas sudah punya anak bersama istri mas yang pertama.”


Bola mata Arini membulat, “Anak?”


Sandi mengangguk. Menunggu reaksi berikutnya. Keberanian itu muncul juga. Tentang seorang gadis kecil yang sekarang tinggal bersama istri pertamanya. Pernikahan yang dipenuhi hujan. Bahagia yang tak kunjung datang. Keributan yang memenuhi pernikahan seusia jagung. Tak banyak yang bisa dikenang kecuali seorang bayi mungil bernama Kala.


“Sekarang di mana dia?”


“Bersama ibunya.”


“Mas, kenapa merahasiakannya dari Arini? Meskipun kita sudah menikah, anak itu tetap punya hak atas kamu, Mas.” Mata Arini basah. Ribuan rintik memenuhi pandangannya. Entah harus merasa kecewa atau bahkan marah. Arini menahan gemuruh di dada. Bagaimana bisa lelaki berkacamata itu menelantarkan putrinya? Sedangkan dalam pernikahan mereka, bahkan tak sekalipun dikarunia seorang anak? Apakah ini karma?


Sandi tak mengelak. Sebab tak diijinkan bertemu oleh mantan istri, dia pun berhenti bertanya dan tak lagi menghubungi. Mungkin putri kecilnya sudah berlarian dan masuk sekolah saat ini. Tiba-tiba saja Sandi merindukannya. Bagaimana rasanya dipanggil ayah oleh darah dagingnya sendiri? Bagaimana rasanya memeluk sosok mungil yang dulu ditinggalkannya?


“Mas harus menemuinya,” ucap Arini ringan.


Sandi menatap lekat wanita bermata lentik di hadapannya. Rasanya dia serupa bidadari yang diturunkan Tuhan dari langit. Penuh ketulusan. Tak banyak yang diminta dan diratapi. Bahkan ketika dia menyibak jelas masa lalu penuh noda. Wanita itu masih sesempurna harapannya. Bahkan melebihi dari apa yang dia inginkan.


“Mas minta maaf, Rin.”


Arini menggeleng. Mengusap sisa tangis. Bukan masalah jika Allah belum juga memberikannya keturunan, bukan persoalan mengapa suaminya begitu kukuh menyimpan rahasia kecil dalam kehidupannya. Yang menjadi persoalan, bagaimana menjalani semuanya tanpa perlu merasa tersakiti, sebab keduanya hanyalah segaris takdir yang dituliskan dalam kehidupannya, jauh-jauh sebelum dia terlahir ke dunia.


***


Bagaimana cara berdamai dengan luka dan masa lalu? Menangisi dan meratapi atau dengan kesatria menghadapi? Tentu saja kehidupan selalu menghadirkan duka dan sukanya. Karenanya, aku bahkan merasa sangat beruntung ketika bisa melewati keduanya bersamamu.


Comments

  1. Makasih banyaak ya mbaa sudah mampir...^^
    Insya Allah...

    ReplyDelete