CINTA

Wednesday, May 24, 2017

Luka di Hati Ibu


Ketika menulis cerita, tema paling menarik adalah tentang cinta. Cinta itu tak selalu tentang seorang kekasih pada pasangannya. Bisa juga tentang seorang ibu kepada anaknya. Cinta bisa dimiliki oleh siapa pun. Bahkan oleh orang yang sebenarnya sudah memiliki cinta.

Itulah kenapa, cinta tak pernah habis untuk diceritakan. Benarkah? Tentu saja! Aku pun merasa ketika cinta datang dan menyapa, maka langit biru berubah jingga. Sekumpulan awan bahkan berubah merona. Apa istimewanya cinta? Apakah selama ini aku tak pernah mengenal cinta?

Tentu saja ibu telah mengajarkan tentang cinta jauh sebelum aku lahir. Aku terlahir sebab cinta. Ketika lahir, tanpa kata, ibu mengajarkan cinta. Tapi, cinta kali ini sungguh berbeda dengan sebelumnya.

“Ibu, aku jatuh cinta!”

Ibu terlonjak kaget dan menurunkan kacamata hingga ke hidung.

“Jatuh cinta sama siapa?”

“Tentu saja dengan lelaki, Bu,” aku tertawa lantas melingkarkan lenganku pada ibu. Ibu tentu jarang mendengar ini. Bahkan hampir tidak pernah. Aku jatuh cinta, bukan hal biasa. Bahkan selama ini, ibu merasa aku terlalu aneh sebab tak pernah mengenal cinta.

Bukannya tak mau. Hanya saja, bagiku jatuh cinta itu tak semudah mengedipkan mata. Meskipun ada lelaki yang serius dan datang menemui orang tua, aku masih saja menolak. Sebab aku belum menemukan satu hal. Yaitu, cinta.

Ah, ibu. Bagiku jatuh cinta adalah salah satu dari hal paling membahagiakan dalam hidup. Sebab, senyumku terus merekah ketika mengingatnya. Langkahku jauh lebih ringan ketika melihatnya. Bahkan, semua beban hidupku sekejap sirna karenanya.

“Lelaki yang mana? Memangnya kamu punya teman lelaki?” Canda ibu sambil mengusap rambutku.

“Ibu, Naira serius.”

Ibu masih menggeleng. Tak percaya jika gadis kecilnya sekarang sudah beranjak dewasa. Bahkan sudah waktunya memulai hidup baru. Ibu menarik pergelangan tanganku. Memintaku duduk disebelahnya.

“Nai, sejak kecil, Ibu tak pernah melihatmu sebahagia ini. Apa benar kamu sedang jatuh cinta?”

Aku tersenyum membalas, “Naira jatuh cinta, Bu. Apa ibu bisa percaya ini?”

Ibu menggeleng dan tersenyum. Ah, ibu selalu begitu.

Sore ini, aku sengaja pulang lebih awal. Aku ingin bicara lebih banyak pada ibu. Biasanya, karena sebuah rutinitas, aku tak sempat berlama-lama dengannya. Terkadang waktu libur pun hilang karena alasan pekerjaan.

Tapi, bagaimana aku harus menceritakan semua padanya. Ibu terlalu lelah menanti. Dan sekarang, apa harus kuceritakan kebenaran yang mungkin akan sangat sulit didengar oleh siapa pun. Bahkan aku sendiri. Namun, sebab kata sederhana bernama ‘cinta’ aku bisa memaksa berdamai dengan semuanya.

“Ceritakan pada ibu, siapa lelaki itu?”

Aku tersenyum. Menatap mata letihnya. Gurat lembut di kedua mata, belum lagi rambut hitam legamnya tak lagi sempurna. Bagaimana aku bisa menyampaikan kebenaran ini? Tentu ibu sedih jika aku tak kunjung menikah. Namun, pernikahan seperti ini apakah bisa membuat ibu bahagia?

Bimbang. Ragu dan mulai terbersit rasa takut. Bukan. Ini bukan waktu yang tepat untuk bicara. Bahkan, orang sehat pun bisa sakit jantung karenanya. Aku tak boleh egois! Ibu tetaplah nomer satu. Sebab ibu, aku tahu apa itu cinta.

Tanpa sadar, aku tak memerhatikan ibu bicara. Pikiranku berkata lebih daripada yang aku tahu. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Mengatakan semuanya atau bungkam saja?

“Ibu mau bertemu dengannya,” ucap ibu tiba-tiba.

“Secepat itukah?” Tanyaku sambil menarik tangan ibu.

Tentu saja ibu ingin segera bertatap muka dengan lelaki pilihanku. Lelaki yang senyumnya bisa menghangatkan pagi. Ucapannya menyembulkan kelopak bunga. Dan tatapannya tak habis dalam ingatan. Aku mencintainya, sungguh!

“Namanya siapa?”

Aku menarik napas dalam, “Rendra.”

Aku bertemu Rendra tanpa sengaja. Di suatu siang, ketika mentari terik menyala. Lebay, ya. Tentu saja Jakarta selalu seperti ini. Pohon-pohon yang terlihat jarang di antara megahnya gedung tinggi. Jalanan yang tak lagi hijau sempurna membuat udara semakin panas.

Rendra adalah salah satu pemilik sebuah kafe di seberang kantor tempatku bekerja. Dia lelaki baik. Bahkan dia sangat baik bagiku. Tentu saja bukan karena aku sedang jatuh hati padanya. Namun, keistimewaan itu justru aku lihat sebelum kami saling mengenal.

Keributan kecil terjadi siang itu. Saat tak sengaja seorang pelayan menabrakku. Sempurna sudah hari yang melelahkan. Kemejaku basah terkena orange jus. Hampir saja aku memakinya jika saja Rendra tak datang tepat waktu.

Aku menyesali kenapa siang itu begitu terburu-buru. Wajahku pasti serupa nenek sihir yang jarang tersenyum. Berkerut dan manyun. Kesalnya, walaupun sebenarnya aku juga kurang berhati-hati saat berjalan. Karena sibuk mengangkat panggilan telepon, aku tak memerhatikan siapa yang lewat di depanku.

“Kami minta maaf atas kesalahan ini.” Rendra muncul dengan permintaan maafnya yang sangat tulus. Ya, wajar saja. Dia pasti akan sangat menghormati pelanggannya. Tapi, bukan karena itu. Bukan. Aku mendapatinya berulang kali minta maaf dan segera memberikan ganti rugi atas kesalahan salah seorang pramusaji di kafenya.

Dengan cepat aku menolak. Aku bahkan jadi malu dengan kelakuanku barusan. Bagaimana bisa aku bersikap seburuk itu pada orang yang nyatanya tak sempurna bersalah? Bukankah aku juga ikut ambil bagian dalam kejadian buruk barusan?

Aku menarik napas. Segera mengakhiri keributan. Namun, belum sempat meninggalkan pintu kafe, Rendra berlari dan mengimbangi langkahku. Seulas senyum tipis menyembul dari wajah teduhnya.

Dan di luar dugaan, dia meminta nomor handphone. Mengamati wajahku yang belum mengiyakan. Aku mengangkat bahu, “Baiklah.”

Sederet angka kusebutkan. Rendra berjanji akan menghubungi dan mengganti semua kerugian yang terjadi hari ini. Setelahnya aku bahkan lupa kejadian itu. Sibuk dengan pekerjaan.

Seminggu berselang, sebuah panggilan asing masuk dalam layar handphone. Dengan malas kujawab sapaan di seberang sana. Suara lelaki memperkenalkan diri. Rendra. Mengingatkan kejadian seminggu lalu. Sedikit tertegun mendengarnya bicara. Tak menyangka akan benar-benar dihubungi oleh pemilik kafe itu.

Cinta. Kata sederhana itu pada akhirnya melenakanku. Empat bulan dari perkenalan singkat itu, aku dan Rendra resmi menjalin hubungan spesial. Hari-hariku dipenuhi bunga. Bahagia bukan main.

Belum genap seminggu berselang, sebuah rahasia besar menghantam bahagia. Pijar di mataku sirna begitu saja.

“Aku sudah memiliki istri dan seorang anak perempuan.”

DEG!

Bisakah kalimat itu diulangi? Sebab tiba-tiba telingaku terasa berdengung dan memuntahkan kalimat singkat dari Rendra. Apa yang terjadi? Tidakkah ini hanyalah sebuah lelucon atau semisal kejutan ulang tahun? Tapi, aku bahkan tak ingat hari ini aku berulang tahun. Ini apa?

“Tapi aku sungguh mencintaimu, Nai.”

Belum sempat kujawab, bintang di matanya menarikku paksa. Jatuh cinta itu sah saja. Namun, mencintai orang yang sudah sempurna dicintai orang lain adalah sebuah kesalahan besar. Aku menggeleng cepat. Ini bencana!

“Aku berjanji, semua akan baik-baik saja. Kita akan resmikan hubungan ini secepatnya.”

Lidahku kelu. Kedua kaki tiba-tiba saja lemas. Rendra bahkan terkejut dan menangkap gerakan tubuhku yang seketika melemah. Aku ingin marah dan memuntahkan semua padanya, namun entah apa membuatku menahan dan mengiyakan kalimatnya barusan. Cinta apa yang bisa menyakiti orang lain? Apakah masih disebut cinta jika kebahagiaan orang direnggut paksa?

Setelahnya, aku pura-pura lupa tentang kejadian menyakitkan itu. Rendra yang baik, perhatian dan selalu meluangkan waktu untukku, membuat semua cela itu tertutup sempurna. Kami akan segera menikah. Pernikahan yang indah dan keluarga kecil yang bahagia.

Impian seorang putri bernama Naira akan segera tiba. Tapi, obrolan ringan dengan ibu malam ini membuatku berpikir. Bagaimana aku bisa menjadi bahagia jika dibaliknya ada tangis seorang wanita bahkan gadis kecil yang juga menyayangi Rendra? Wanita mana yang mau diduakan meskipun pada akhirnya dia mengiyakan? Pastilah ada hati yang tersayat dan berserak. Cinta seperti apa yang sedang aku perjuangkan? Bukan! Ini bukan seperti impian seorang putri!

Tiba-tiba saja mataku panas. Kristal bening bergulir cepat. Menekan sebuah nomor. Satu panggilan tak terjawab. Dua kali belum ada sahutan. Ketiganya suara Rendra menderu cepat dan menghantam pertahananku. Suara itu begitu kurindukan. Tapi, bukan seperti ini yang kuinginkan.

“Ada apa, Nai?”

“Aku ingin putus!”

Tak terdengar sahutan lain kecuali suara panggilan terputus. Aku menghela napas. Kebodohan serta nafsu beralaskan cinta membuat mataku buta. Tangisku berjejalan keluar. Aku merasa amat berdosa. Sebab cinta aku merasa melakukan banyak sekali pembenaran atas seribu kesalahan. Bagaimana bisa aku menyukai orang yang sudah mengikat janji suci bersama wanita lain? Jangan-jangan dia pun akan melakukan perbuatan yang sama ketika bersamaku.

Tiba-tiba kebencian menyergap. Seharusnya cinta didapat dengan cara yang halal. Perasaan di luar ikatan pernikahan sejatinya hanyalah nafsu yang merusak kesucian cinta itu sendiri. Bukan cinta jika mengajak pada keburukan, bukan cinta jika menjerumuskan. Dan bukan cinta jika harus mengorbankan!

 

Comments