![]() |
Photo by Budi Gustaman on Unsplash |
Banyak orang tua berharap bahwa menyerahkan anak-anaknya ke pesantren bisa menjadi solusi kenakalan mereka selama berada di rumah. Padahal, pesantren bukan bengkel. Pesantren tidak didesain semata-mata untuk membenahi kekeliruan pada anak yang disebabkan karena kesalahan pengasuhan selama di rumah. Meski anak kita telah mengenyam pendidikan di pesantren, bukan berarti mereka menjadi saleh dan mendapatkan lingkungan yang steril. No, pesantren tidak memberikan jaminan itu. Bahkan beberapa pesantren terlibat dalam kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh ustadz atau pengasuhnya sendiri.
Makin ke sini, kita makin sadar bahwa di pesantren juga banyak terjadi kasus bullying hingga pelecehan. Di pesantren, juga ada kasus anak bunuh diri karena merasa tertekan. Di pesantren juga, kita bisa melihat kondisi lingkungan yang tidak sebaik seperti yang kita bayangkan selama ini. Di sana, di tempat yang kita pikir steril dan aman, banyak juga terjadi kasus L*BT. Bahkan saat saya mengenyam pendidikan di pesantren sejak belasan tahun lalu, hal semacam ini sudah ada.
Kaget? Sebenarnya nggak terlalu kaget mengingat saat ini, dunia maya bisa diakses lebih mudah dan memberikan banyak informasi yang lebih luas, lebih bebas, dan tentu lebih liar jika kita tidak mengendalikan diri. Bagaimana dengan anak-anak kita?
Saat ini, banyak anak usia dini sudah punya HP sendiri. Jangan heran, di usia 12 tahun, hampir semua anak sudah diberi kebebasan untuk membeli ataupun memiliki HP sendiri. Nggak masalah, tapi apakah benar mereka sudah tahu baik dan buruknya penggunaan media sosial dan sejenisnya? Apakah mereka tahu bahwa di dalam permainan atau games yang mereka mainkan terdapat bahaya yang mengintai? Apakah mereka tahu bahwa pornografi bisa diakses dengan mudah, tapi risikonya bisa merusak otak anak? Apakah mereka tahu bahwa menghilangkan kecanduan pornografi dan games tak semudah seperti yang mereka bayangkan? Apakah mereka bisa mengendalikan dirinya ketika sudah kecanduan games? Apakah mereka tahu bahwa anak seusia mereka sering kali kesulitan menyaring informasi sehingga semua hal akhirnya mereka lihat dan tonton?
Cukup disayangkan ketika saya mendengar putra saya bercerita tentang lingkungan pesantrennya di mana banyak anak dengan santainya ngobrolin tentang pornografi tanpa seorang pun menegur mereka. Bahasa yang kasar dan vulgar bahkan lebih kentara dibanding yang sering didengarnya di luar. Kaget dan kecewa banget karena pihak pesantren kurang banget memberi pengawasan dalam hal ini. Para ustaznya bahkan tidak tahu tentang masalah ini.
Jika dulu di asrama saya, seorang ketua kamar benar-benar merasa bertanggung jawab terhadap adik kelasnya, lain lagi di sini. Ketua kamar atau musrifnya ternyata cuek banget sampai-sampai dia nggak memberikan aturan kepada adik kelasnya. Hal inilah yang membuat kondisi asrama menjadi bebas dan ‘liar’.
Seharusnya, setiap musrif menjalankan aturan yang sama dari kepala asrama. Jangan sampai di asrama ada anak yang bicaranya kasar, dipinjamkan HP dengan bebas tanpa kenal waktu, dan sebagainya. Bukankah tugas ini juga jadi tanggung jawab pesantren untuk mengawasi para santri? Dengan waktu 24 jam dalam sehari, anak-anak bisa lebih banyak berinteraksi dengan teman-temannya dibanding saat berada di rumah. Andai anak-anak kita bersekolah di rumah, mereka hanya bertemu teman-temannya paling lama hanya sampai siang atau sore. Sedangkan di pesantren, mereka bisa sehari semalam bertemu dan ngobrol. Kebayang nggak sih kalau lingkungan di pesantren ‘sekotor’ itu? Apa dampaknya buat anak-anak yang berusaha baik dan menjaga dirinya?
Dari awal, saya dan suami tidak mengatakan bahwa pesantren itu steril karena kami sama-sama berasal dari latar belakang pendidikan yang sama. Kami tahu isinya pesantren itu seperti apa. Jadi, menyekolahkan anak-anak di sana bukan karena ikut-ikutan orang, bukan mau mendidik anak secara instan, tapi hasil dari kesepakatan kami dan juga anak-anak.
Anak-anak yang di rumah sudah dididik dengan baik, saya yakin tidak akan mudah terbawa arus pergaulan negatif, tapi bukan berarti mereka akan aman, ya. Jika di sana tidak bisa memilih teman yang baik, bisa jadi mereka akan ikut-ikutan melakukan hal yang bukan-bukan disebabkan usia mereka juga sedang ada di fase mencari jati diri.
Jadi, mesti gimana dong? Sering-sering ajak anak-anak kita ngobrol. Jangan sampai kita memiliki jarak, jangan sampai mereka lebih memilih teman dibanding orang tuanya. Jaga komunikasi dan dengarkan ketika anak-anak kita bercerita. Dengan begitu, mereka merasa punya tempat pulang, tempat bercerita yang aman, dan tidak mencari orang lain supaya didengarkan.
EDUKASI ANAK-ANAK TENTANG PENGGUNAAN GADGET
![]() |
Photo by Sajad Nori on Unsplash |
Berapa banyak orang tua yang abai dengan masalah ini. Tidak mengedukasi anak-anaknya, tapi memberikan akses sosial media dengan bebas. Anak-anak yang terlalu kecil belum bisa mengerti dan memahami pendidikan sesksual sehingga mudah bagi mereka ikut-ikutan teman dan melihat konten-konten yang tidak pantas. Pornografi itu bisa merusak anak-anak kita. Ketika mereka tidak tahu menahu soal pornografi, tapi diajak temannya yang lebih besar atau teman-teman sebayanya untuk melihat video yang tidak pantas, mereka akan bersenang-senang tanpa merasa bersalah. Tak sadar jika hal itu bisa merusak masa depan mereka sendiri.
Pliss, sebelum memberi HP ke anak, edukasi mereka tentang penggunaan media sosial dan sejenisnya. Jangan sampai anak-anak kita juga jadi perantara keburukan terhadap anak-anak yang lain.
Jangan merasa tabu dengan hal ini. Jangan merasa terlalu dini untuk mengenalkan pendidikan seksual sesuai usia mereka sebab di luar sana, mereka bisa tahu lebih cepat dibanding yang kita bayangkan. Andai mereka mau bercerita kepada kita sebagai orang tua, maka ini jauh lebih baik, tapi bagaimana jika mereka justru tidak bercerita dan mengakses konten-konten pornografi dengan teman-temannya dalam waktu yang lama?
Nggak bisa dibayangkan kerusakan sebanyak apa yang akan anak-anak kita dapatkan. Ngobrolin hal semacam ini bisa dimulai dari hal-hal sederhana. Sebagaimana Islam juga telah mengajarkan supaya kita tidak sembarangan membuka, melihat, dan menyentuh aurat orang lain. Misalnya, jangan mau ya disentuh bagian tubuh kita oleh orang lain bahkan meski itu teman dekat atau kerabat sekalipun. Jangan mau ya main dokter-dokteran dan membuka area di bawah perut dengan alasan mau memeriksa. Jangan mau ya main tidur-tiduran bareng siapa pun. Banyak sekali edukasi sederhana yang bisa kita ajarkan kepada anak-anak kita di rumah.
Jangan menunggu terlambat. Jangan menunggu anak-anak kita tumbuh besar, sebab mereka bisa mendapatkan informasi yang lebih ‘liar’ di luar sana tanpa pernah bisa kita prediksi. Kenapa saya bisa bicara seperti itu? Pengalaman punya dua anak laki-laki dan sama-sama mengalami hal yang mirip. Ada temannya yang masih kelas 1 SD bercerita tentang pornografi di kelas, ada temannya yang masih kelas 3 SD bermain permainan yang mengarah pada tindakan s*d*mi. Kasus-kasus ini bisa dilaporkan dan diselesaikan karena anak-anak mengerti bahwa itu tindakan tidak wajar dan sangat berlebihan. Mereka bisa bercerita karena kami sering berdiskusi tentang ini. Mereka bisa lapor tanpa merasa takut karena mereka tahu tindakan itu tidak baik dan mesti diedukasi supaya teman-temannya bisa berhenti.
Mau di mana pun, anak-anak itu tanggung jawab orang tuanya. Meski mereka sekolah di SDIT ataupun pesantren, orang tua tetap punya peran dan bertanggung jawab terhadap pendidikan mereka. Jangan karena telah memasukkan anak ke pesantren, orang tua jadi lepas tangan. Bisa jadi, kesalahan mereka berawal dari pendidikan di rumah. Sudahkah kita melakukan tugas dan kewajiban sebagai orang tua dengan baik?
Salam hangat,
Comments