Thursday, July 3, 2025
Pahit Manisnya Jadi Penulis Buku
![]() |
Photo by Justin Case on Unsplash |
Alhamdulillah, tahun ini ada buku kedua yang sudah terbit berjudul ‘Becoming High value Muslimah’ dan terbit di Wahyu Qolbu. Buku ini ditulis dalam waktu sekitar sebulanan, ya. Mulai dikerjakan sekitar November 2024 tahun lalu, tapi memang baru diproses dan diterbitkan sekarang.
Lama juga, ya? Yes! Memang, menerbitkan buku itu butuh waktu yang lama. Kata salah seorang teman, menjadi penulis itu butuh kesabaran seluas sawah di kampung. Sawahnya luas banget saking banyak banget tantangan yang mesti dihadapi. Ditolak penerbit hingga puluhan kali itu bukan hal terburuk, kok. Masih banyak cerita suram lain yang lebih mengerikan...kwkwk.
Kalau teman-teman mau tahu pahit-pahitnya jadi penulis, Mari dengarkan cerita-cerita ini,
Dighosting Editor Elex Kidz
Sejak 2018an, ada sekitar 2-3 naskah saya di-acc Elex Kidz. Saya tahu, nggak semua naskah yang sudah di-acc bakalan terbit. Belum tentu buku kita akan terbit, tapi editor senior yang menerima naskah saya berkali-kali memastikan bahwa buku ini akan diterbitkan. So, dia meminta saya melengkapi buku-buku ini dengan ilustrasi dan segera diterbitkan dalam waktu dekat.
Jadi ada 2 naskah yang saya ilustrasikan sampai selesai dan ada satu naskah yang sudah saya lengkapi ilustrasinya menggunakan jasa ilustrator lain di tahun 2018an. Ketiga naskah ini sudah siap terbit, tapi editornya bilang masih antre dan waktu itu ada naskah yang bertema mirip.
Saya nggak pernah membayangkan kalau penerbit sebesar Elex Kidz yang jadi bagian dari Gramedia grup akan ngeghosting penulisnya padahal Elex Media merupakan penerbit mayor pertama yang menerima naskah saya di lini nonfiksi islami (Quanta). Saya sangat percaya sama Elex Media, tapi ternyata di lini penerbit anaknya malah bikin patah hati.
Sangat disayangkan, editor senior dan editor lainnya tidak pernah memberikan klarifikasi soal ini, tidak meminta maaf sampai detik ini, bahkan saya hanya diminta menunggu setiap tahunnya setiap kali saya menanyakan kejelasan naskah ini.
Andai memang tidak sanggup menerbitkan, sudah seharusnya mereka menyampaikan dengan jujur dan meminta maaf bahkan mengganti rugi biaya ilustrasi yang saya keluarkan untuk ketiga buku ini.
Ini bukan kali pertama naskah saya gagal diterbitkan, beberapa penulis lain juga mengalami hal yang sama, tapi sejak awal penerbit lain akan menyampaikan supaya penulis menarik naskahnya, tidak meminta ilustrasi karena ini membutuhkan biaya, bahkan ada yang memberikan DP secara cuma-cuma meskipun gagal terbit sebagai permintaan maaf.
Sekadar menjelaskan dan meminta maaf pun mereka nggak pernah, lho.
Perjanjian kami memang tidak tertulis di atas kertas, sebab mereka baru akan memberikan SPP setelah buku terbit. Di posisi ini, jelas penulis sangat dirugikan dengan alasan apa pun.
Dighosting Editor Wahyu Media
Beberapa tahun lalu, ada editor dari Wahyu Media menawarkan kerja sama untuk membuat buku percobaan bersama penulis lain. Katanya, mereka butuh penulis yang brandingnya sudah oke untuk menerbitkan buku ini. Jadi, posisi saya di buku ini bukan sebagai penulis, melainkan ilustrator.
Dari awal, semua berjalan normal, ya. Hingga akhirnya sempat tertunda proses pengerjaan bukunya karena materi dari mereka belum cukup. Kemudian, setelah cukup lama menghilang, dengan alasan mereka mau fokus menerbitkan buku-buku lain yang sedang tren, mereka muncul lagi dan sempat ngide supaya buku ini diubah seluruhnya yang artinya saya harus mengerjakan semuanya dari nol lagi.
What? Serius? Apakah menggambar semudah itu bagi kalian? Kwkwk. Saya memutuskan mundur dari proyek kerja sama ini dibanding harus kerja lebih capek dan nggak yakin bakalan terbit. Akhirnya, dengan tidak enak hati, mereka meminta saya melanjutkan proses buku ini dan merekalah yang akan menambahkan kekurangannya menyesuaikan tren buku di tahun itu.
Kenapa mesti diubah? Saking kelamaannya tertunda sehingga banyak hal mesti diubah yang jelas itu bukan kesalahan dari saya.
Dan sampai detik ini, tidak pernah ada kabar lagi dari mereka. Tidak meminta maaf karena ngeghosting, tidak menjelaskan nasib buku ini, bagaimana kerja sama kami selanjutnya? Apakah pekerjaan saya dianggap angin lalu?
Saya tidak mengerti kenapa banyak penerbit besar tidak mempertimbangkan dengan matang apa yang akan mereka terbitkan sebelum memutuskan menerima naskah dari penulis dan bekerja sama dengan ilustrator? Kalau hanya sekadar acc naskah kemudian batal terbit, saya pikir nggak terlalu masalah, ya karena penulis bisa mengajukan naskahnya ke penerbitan lain, tapi jika penulis sudah effort sampai melengkapi naskahnya dengan ilustrasi yang kalau di penerbit lain diurus sendiri sama penerbitnya, rasanya ini zalim banget, lho.
Sama halnya dengan editor dari Wahyu Media ini. Nggak banget, lho ngeghosting begitu apa pun alasannya!
Kadang, ngerasa sampai eneg sama mereka, terlebih ketika tahu penerbit lain begitu santun meminta maaf dan memberikan ganti rugi kepada penulisnya. Kalau kalian jadi saya, kira-kira kesel juga nggak, sih? Apa yang mau kalian lakukan kalau ada di posisi yang sama?
Lakukan Ini Sebelum Menerima Kerja Sama dengan Penerbit

Photo by Avery Evans on Unsplash

Buat teman-teman yang mau mengajukan naskah cerita anak atau menjadi ilustrator buku, mending lakukan ini,
1. Jika naskah cerita anakmu diterima penerbit, biarkan penerbit yang mengurus ilustrasinya sampai beres. Sebab, kita tidak punya surat perjanjian penerbitan sebelum buku terbit. Jadi, nggak ada jaminan buku kita bakalan terbit meski sudah di-acc.
Salah satu naskah saya baru di-acc penerbit BIP dan mereka mengurus ilustrasinya sendiri. Jadi, penulis hanya diinfokan sketsa dan hasilnya, diminta memberikan masukan dan revisi jika ada. Andai buku ini nggak terbit, saya sebagai penulis tidak akan terlalu dirugikan. Saya tinggal menarik naskah dan mengajukannya ke penerbit lain. Urusan dengan ilutrator tidak menjadi tanggung jawab penulis.
2. Jika mau menerima kerja sama dengan penerbit untuk mengilustrasikan buku cerita anak, sebaiknya ambil perjanjian jual putus. Ini jauh lebih minim risiko di kemudian hari misal ketika penerbitnya ngeghosting. Kamu bayangkan, berapa banyak ilustrasi yang kita buat dan tidak dibayar karena penerbitnya tiba-tiba batal menerbitkan buku? Tanpa permintaan maaf? Ngilang begitu saja? Ini juga bagian dari pekerjaan, lho. Pliss, penerbit jangan main-main soal ini. Ngerjain orang itu dosa...huhu.
3. Jika tidak percaya dengan klien, sebaiknya minta DP. Beberapa kali saya melakukan kerja sama baik dengan penulis di luar negeri ataupun penulis senior di Indonesia seperti Bunda Helvy, tidak sekalipun saya mau menerima DP karena saya percaya kepada mereka. Bersyukurnya mereka memang amanah. Begitu pekerjaan saya selesai, mereka akan membayar lunas seluruhnya, tapiii kalau kamu bekerja sama dengan penulis yang belum jelas kamu kenal, nggak masalah banget minta DP supaya kamu nggak dirugikan di akhir. Nggak sedikit orang yang ngilang begitu saja dan tidak membayar ilustrasi yang sudah mereka pesan.
Mengilustrasikan buku juga bagian dari pekerjaan dan kita main profesional saja. Buku cerita anak tidak akan jadi buku utuh jika tidak ada gambarnya. Jadi, peran kamu juga penting dalam hal ini.
Ditolak sama penerbit itu nggak masalah banget, tapi kalau dighosting itu nggak banget, sih. Benar-benar jadi pengalaman pahit yang sampai sekarang masih saya ingat sebagai hal yang cukup menyakitkan karena merasa nggak dihargai. Bagaimana mereka bisa bernapas dan tidur dengan nyenyak sedangkan penulisnya digantung sampai bertahun-tahun? Kwkwk
Sudah lama banget pengin nulis ini, tapi kadang berpikir apakah ini boleh diceritakan? Rasanya saya akan merasa bersalah jika menceritakan ini, tapi beberapa editor shock banget mendengar cerita saya dan bilang ini keterlaluan! Hahaha.
Di sini, saya hanya menceritakan pengalaman nggak menyenangkan sebagai penulis dan ilustrator. Saya tidak kapok sih jadi penulis, tapi memang sekarang lebih bijak saja untuk menerima tawaran kerja sama dan nggak mau sungkan menolak jika mereka meminta saya melakukan hal yang berlebihan semisal meminta merombak seluruh ilustrasi buku setelah sebelumnya kami sepakat.
Pengalaman semacam ini pasti juga dialami oleh penulis lain. Dunia penerbitan itu tak seindah seperti yang kalian bayangkan, tapi saya yakin, dari banyak hal kurang mengenakkan, Allah pasti ganti dengan hal baik lainnya.
Tidak jarang saya juga bertemu dengan orang-orang baik hati yang benar-benar support. Thank you banget sudah bikin penulis satu ini tumbuh menjadi seperti sekarang.
Sebenarnya, nggak ada penerbit yang paling baik ataupun buruk, semua punya kurang lebihnya masing-masing, tapi beberapa orang atau oknumnya saja yang bikin kezeeel...kwkwk. Saya pribadi memang butuh kepada penerbit, tapi rasanya nggak etis kalau penerbit melakukan hal yang menzalimi hak penulisnya. Bukankah kita sebenarnya sama-sama saling membutuhkan, ya?
Andai mau membatalkan kerja sama, segera sampaikan supaya kami mendapatkan kejelasan. Saya yakin, penulis bakalan legowo banget menerima keputusan dari penerbit meski sudah rugi waktu, tenaga, dan juga uang. Rasanya, kalian nggak dewasa banget dalam hal ini karena tidak mau meminta maaf dan memilih menghilang. Hantu banget, sih kalian...kwkwkwk.
Salam hangat,
Wednesday, July 2, 2025
Pesantren dan Pendidikan Seksual Sejak Dini
![]() |
Photo by Budi Gustaman on Unsplash |
Banyak orang tua berharap bahwa menyerahkan anak-anaknya ke pesantren bisa menjadi solusi kenakalan mereka selama berada di rumah. Padahal, pesantren bukan bengkel. Pesantren tidak didesain semata-mata untuk membenahi kekeliruan pada anak yang disebabkan karena kesalahan pengasuhan selama di rumah. Meski anak kita telah mengenyam pendidikan di pesantren, bukan berarti mereka menjadi saleh dan mendapatkan lingkungan yang steril. No, pesantren tidak memberikan jaminan itu. Bahkan beberapa pesantren terlibat dalam kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh ustadz atau pengasuhnya sendiri.
Makin ke sini, kita makin sadar bahwa di pesantren juga banyak terjadi kasus bullying hingga pelecehan. Di pesantren, juga ada kasus anak bunuh diri karena merasa tertekan. Di pesantren juga, kita bisa melihat kondisi lingkungan yang tidak sebaik seperti yang kita bayangkan selama ini. Di sana, di tempat yang kita pikir steril dan aman, banyak juga terjadi kasus L*BT. Bahkan saat saya mengenyam pendidikan di pesantren sejak belasan tahun lalu, hal semacam ini sudah ada.
Kaget? Sebenarnya nggak terlalu kaget mengingat saat ini, dunia maya bisa diakses lebih mudah dan memberikan banyak informasi yang lebih luas, lebih bebas, dan tentu lebih liar jika kita tidak mengendalikan diri. Bagaimana dengan anak-anak kita?
Saat ini, banyak anak usia dini sudah punya HP sendiri. Jangan heran, di usia 12 tahun, hampir semua anak sudah diberi kebebasan untuk membeli ataupun memiliki HP sendiri. Nggak masalah, tapi apakah benar mereka sudah tahu baik dan buruknya penggunaan media sosial dan sejenisnya? Apakah mereka tahu bahwa di dalam permainan atau games yang mereka mainkan terdapat bahaya yang mengintai? Apakah mereka tahu bahwa pornografi bisa diakses dengan mudah, tapi risikonya bisa merusak otak anak? Apakah mereka tahu bahwa menghilangkan kecanduan pornografi dan games tak semudah seperti yang mereka bayangkan? Apakah mereka bisa mengendalikan dirinya ketika sudah kecanduan games? Apakah mereka tahu bahwa anak seusia mereka sering kali kesulitan menyaring informasi sehingga semua hal akhirnya mereka lihat dan tonton?
Cukup disayangkan ketika saya mendengar putra saya bercerita tentang lingkungan pesantrennya di mana banyak anak dengan santainya ngobrolin tentang pornografi tanpa seorang pun menegur mereka. Bahasa yang kasar dan vulgar bahkan lebih kentara dibanding yang sering didengarnya di luar. Kaget dan kecewa banget karena pihak pesantren kurang banget memberi pengawasan dalam hal ini. Para ustaznya bahkan tidak tahu tentang masalah ini.
Jika dulu di asrama saya, seorang ketua kamar benar-benar merasa bertanggung jawab terhadap adik kelasnya, lain lagi di sini. Ketua kamar atau musrifnya ternyata cuek banget sampai-sampai dia nggak memberikan aturan kepada adik kelasnya. Hal inilah yang membuat kondisi asrama menjadi bebas dan ‘liar’.
Seharusnya, setiap musrif menjalankan aturan yang sama dari kepala asrama. Jangan sampai di asrama ada anak yang bicaranya kasar, dipinjamkan HP dengan bebas tanpa kenal waktu, dan sebagainya. Bukankah tugas ini juga jadi tanggung jawab pesantren untuk mengawasi para santri? Dengan waktu 24 jam dalam sehari, anak-anak bisa lebih banyak berinteraksi dengan teman-temannya dibanding saat berada di rumah. Andai anak-anak kita bersekolah di rumah, mereka hanya bertemu teman-temannya paling lama hanya sampai siang atau sore. Sedangkan di pesantren, mereka bisa sehari semalam bertemu dan ngobrol. Kebayang nggak sih kalau lingkungan di pesantren ‘sekotor’ itu? Apa dampaknya buat anak-anak yang berusaha baik dan menjaga dirinya?
Dari awal, saya dan suami tidak mengatakan bahwa pesantren itu steril karena kami sama-sama berasal dari latar belakang pendidikan yang sama. Kami tahu isinya pesantren itu seperti apa. Jadi, menyekolahkan anak-anak di sana bukan karena ikut-ikutan orang, bukan mau mendidik anak secara instan, tapi hasil dari kesepakatan kami dan juga anak-anak.
Anak-anak yang di rumah sudah dididik dengan baik, saya yakin tidak akan mudah terbawa arus pergaulan negatif, tapi bukan berarti mereka akan aman, ya. Jika di sana tidak bisa memilih teman yang baik, bisa jadi mereka akan ikut-ikutan melakukan hal yang bukan-bukan disebabkan usia mereka juga sedang ada di fase mencari jati diri.
Jadi, mesti gimana dong? Sering-sering ajak anak-anak kita ngobrol. Jangan sampai kita memiliki jarak, jangan sampai mereka lebih memilih teman dibanding orang tuanya. Jaga komunikasi dan dengarkan ketika anak-anak kita bercerita. Dengan begitu, mereka merasa punya tempat pulang, tempat bercerita yang aman, dan tidak mencari orang lain supaya didengarkan.
EDUKASI ANAK-ANAK TENTANG PENGGUNAAN GADGET
![]() |
Photo by Sajad Nori on Unsplash |
Berapa banyak orang tua yang abai dengan masalah ini. Tidak mengedukasi anak-anaknya, tapi memberikan akses sosial media dengan bebas. Anak-anak yang terlalu kecil belum bisa mengerti dan memahami pendidikan sesksual sehingga mudah bagi mereka ikut-ikutan teman dan melihat konten-konten yang tidak pantas. Pornografi itu bisa merusak anak-anak kita. Ketika mereka tidak tahu menahu soal pornografi, tapi diajak temannya yang lebih besar atau teman-teman sebayanya untuk melihat video yang tidak pantas, mereka akan bersenang-senang tanpa merasa bersalah. Tak sadar jika hal itu bisa merusak masa depan mereka sendiri.
Pliss, sebelum memberi HP ke anak, edukasi mereka tentang penggunaan media sosial dan sejenisnya. Jangan sampai anak-anak kita juga jadi perantara keburukan terhadap anak-anak yang lain.
Jangan merasa tabu dengan hal ini. Jangan merasa terlalu dini untuk mengenalkan pendidikan seksual sesuai usia mereka sebab di luar sana, mereka bisa tahu lebih cepat dibanding yang kita bayangkan. Andai mereka mau bercerita kepada kita sebagai orang tua, maka ini jauh lebih baik, tapi bagaimana jika mereka justru tidak bercerita dan mengakses konten-konten pornografi dengan teman-temannya dalam waktu yang lama?
Nggak bisa dibayangkan kerusakan sebanyak apa yang akan anak-anak kita dapatkan. Ngobrolin hal semacam ini bisa dimulai dari hal-hal sederhana. Sebagaimana Islam juga telah mengajarkan supaya kita tidak sembarangan membuka, melihat, dan menyentuh aurat orang lain. Misalnya, jangan mau ya disentuh bagian tubuh kita oleh orang lain bahkan meski itu teman dekat atau kerabat sekalipun. Jangan mau ya main dokter-dokteran dan membuka area di bawah perut dengan alasan mau memeriksa. Jangan mau ya main tidur-tiduran bareng siapa pun. Banyak sekali edukasi sederhana yang bisa kita ajarkan kepada anak-anak kita di rumah.
Jangan menunggu terlambat. Jangan menunggu anak-anak kita tumbuh besar, sebab mereka bisa mendapatkan informasi yang lebih ‘liar’ di luar sana tanpa pernah bisa kita prediksi. Kenapa saya bisa bicara seperti itu? Pengalaman punya dua anak laki-laki dan sama-sama mengalami hal yang mirip. Ada temannya yang masih kelas 1 SD bercerita tentang pornografi di kelas, ada temannya yang masih kelas 3 SD bermain permainan yang mengarah pada tindakan s*d*mi. Kasus-kasus ini bisa dilaporkan dan diselesaikan karena anak-anak mengerti bahwa itu tindakan tidak wajar dan sangat berlebihan. Mereka bisa bercerita karena kami sering berdiskusi tentang ini. Mereka bisa lapor tanpa merasa takut karena mereka tahu tindakan itu tidak baik dan mesti diedukasi supaya teman-temannya bisa berhenti.
Mau di mana pun, anak-anak itu tanggung jawab orang tuanya. Meski mereka sekolah di SDIT ataupun pesantren, orang tua tetap punya peran dan bertanggung jawab terhadap pendidikan mereka. Jangan karena telah memasukkan anak ke pesantren, orang tua jadi lepas tangan. Bisa jadi, kesalahan mereka berawal dari pendidikan di rumah. Sudahkah kita melakukan tugas dan kewajiban sebagai orang tua dengan baik?
Salam hangat,
Subscribe to:
Posts (Atom)
Hey there!
Part of
