Pentingnya Second Opinion Untuk Diagnosis Penyakit

Tuesday, August 30, 2022

Pentingnya Second Opinion Untuk Diagnosis Penyakit
Photo by Marcelo Leal on Unsplash


Second opinion, mencari pendapat kedua, atau bisa diartikan mencari pendapat dokter berbeda mengenai penyakit yang sama setelah sebelumnya telah didiagnosis oleh dokter lain merupakan hal yang perlu dilakukan oleh kita sebagai pasien. Kesalahan diagnosis, overtreatment, atau bahkan overdiagnosis sering terjadi di mana-mana. Nggak hanya di Indonesia, bahkan dari beberapa sumber yang saya baca, hal semacam ini juga terjadi di luar negeri sekalipun.


Karena itu, nggak ada salahnya kita melakukan second opinion dengan mendatangi dokter-dokter lain untuk berkonsultasi. Hal inilah yang saya lakukan kepada anak saya saat dia mengalami demam sampai berhari-hari, tanpa gejala, tapi belum ketahuan juga diagnosis pastinya setelah melakukan cek urin dan cek darah lebih dari satu kali.


Saya bukan tipe orang tua yang mudah panik saat anak demam. Saya sudah terbiasa melakukan treatment sendiri di rumah ketika anak sedang sakit dan tahu kapan mesti ke dokter. Anak-anak saya, terutama si sulung punya riwayat kejang demam sejak dua tahun sampai terakhir di usianya enam tahun. 


Ketika anak demam lebih dari seminggu tanpa gejala baik itu batuk ataupun pilek, saya berusaha mencari beberapa dokter untuk berkonsultasi dan mencari jawaban serta treatment yang tepat untuk sakitnya. Mulai dari mendatangi dokter spesialis anak dekat rumah sampai ke Menteng hingga akhirnya mencari salah satu dokter dari Milis Sehat, yakni dokter Apin.


Sebelum ada diagnosis pasti, sudah ada beberapa dokter yang melakukan cek darah, memberikan antibiotik, hingga meminta rawat inap. Namun, saya memang waktu itu nggak menelannya mentah-mentah. Walaupun saya hanya Ibu Rumah Tangga biasa, tapi rasanya semua yang dianjurkan kurang tepat buat anak saya mengingat diagnosisnya aja belum jelas apa? Semua ini karena saya juga ikut belajar di Milis Sehat bersama beberapa dokter yang RUM. Nggak semudah itu ngasih antibiotik kalau diagnosisnya saja belum jelas. Nggak semudah itu meminta rawat inap sedangkan anaknya dalam kondisi baik?


Pengalaman ini benar-benar jadi pelajaran buat saya bahwa kita itu jangan suka pasrah hanya sama satu dokter saja. Nggak ada salahnya kok second opinion ke dokter-dokter lain karena bisa banget pendapat mereka berbeda. 


Bagi pasien, second opinion ini nggak ada ruginya, justru sangat baik apalagi jika menyangkut nyawa pasien, kondisi yang terus memburuk, atau dokter pertama sudah salah treatment. Seperti yang dialami oleh ibu saya sendiri.


Demensia Hingga Tak Bisa Bergerak Sama Sekali

Saya ingin menulis pengalaman ini supaya jadi pelajaran bagi banyak orang, bahwa second opinion itu bukan hal sia-sia. Kita nggak harus menerima begitu saja diagnosis serta treatment dari dokter pertama apalagi kalau kondisi pasien makin hari makin buruk. Kita boleh konsultasi ke dokter lain dan terus berikhtiar lagi demi kesembuhan orang-orang yang kita sayang.


Second opinion ini merupakan hak pasien yang tertuang dalam Undang-Undang no. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit, bagian empat pasal 32 poin H tentang hak pasien seperti dikutip dari kompas.com: 


"Setiap pasien memiliki hak meminta konsultasi tentang penyakit yang dideritanya kepada dokter lain yang mempunyai Surat Izin Praktik (SIP) baik di dalam maupun di luar Rumah Sakit."


Ibu saya sempat kena serangan struk ringan pada Desember tahun lalu. Setelah tidur di malam hari, sampai besoknya Ibu nggak sadarkan diri atau bisa dibilang terus tertidur seperti sangat nyenyak. Akhirnya Ibu dibawa ke rumah sakit dan diketahui ada sedikit sumbatan pada saraf di kepalanya. Meski ada sumbatan sedikit, sebenarnya ini masih aman. Begitu kata dokternya.


Setelah beberapa hari, Ibu mulai bangun, tapi tidak sepenuhnya ingat dengan semua kejadian yang dialami, terutama hal-hal yang baru. Seperti kejadian beberapa tahun belakangan. Contoh kecilnya saja, Ibu lupa dan tidak ingat bahwa saya menulis buku dan membuat ilustrasi. Padahal sebelumnya, Ibu sangat antusias setiap mendengar cerita dari saya tentang pengalaman saya menulis. Bahkan Ibu selalu men-support saya supaya terus berkarya.


Setelah beberapa hari dirawat, dokter menyatakan tidak ada masalah yang berat pada Ibu karena kondisi semuanya normal. Makanya, Ibu bisa pulang lebih cepat dibanding pasien struk lainnya. Dokter meyakinkan bahwa Ibu akan kembali pulih asal rajin dilatih. 


Terapinya sederhana saja, diajak gerak, jalan-jalan pagi, jangan tidur terlalu lama, diajak ngobrol hal-hal ringan dan disukai, dijaga sama orang yang disayang, jangan bertemu dengan orang-orang yang tidak disenangi. Simpel, ya? Nggak juga ternyata :(


Saya tidak tinggal di rumah Ibu. Saya sudah berumah tangga dan menetap di Jakarta sejak belasan tahun lalu. Namun, kami coba terus memantau kondisinya. Kendala yang kami temui dalam perjalanan selanjutnya adalah, ternyata Ibu susah diajak bergerak, senam, dan ngobrol. Ibu lebih senang tidur, diam, dan malas beraktivitas. Dokter pertama pernah bilang, jangan dibantu terlalu banyak karena Ibu sebenarnya bisa melakukannya sendiri. Hanya saja Ibu merasa ‘nyaman’ dengan kondisinya sekarang karena merasa diperhatikan. Akhirnya, Ibu senang diperlakukan seperti layaknya orang sakit.


Masalahnya muncul dari sini. Ketika Ibu susah dipaksa, kemudian harus pindah dokter di rumah sakit lain yang lebih dekat, dan dokter kedua selalu mengatakan bahwa kondisi Ibu ini normal. Nggak apa. Harus sabar. Nggak apa-apa kalau nggak mau jalan jangan dipaksa, nggak apa-apa kalau tidur lama, biarkan jangan dipaksa, dan semua yang katanya jangan dipaksa ini ternyata menimbulkan banyak hal fatal terjadi pada Ibu saya.


Diagnosis dari dokter saraf kedua adalah demensia. Bagi kita orang awam, demensia ini seperti pikun. Saya yakin demensia ini memang benar-benar Ibu alami. Kenapa? Karena Ibu nggak bisa mengingat hal-hal baru yang terjadi beberapa tahun belakangan, tapi bisa ingat dengan kejadian yang sudah sangat lama. Bagi yang nggak tahu apa itu demensia, silakan cari di Google :)


Saya nggak masalah kalau Ibu lupa beberapa hal. Namun, saya sangat takut karena Ibu sering kali diam dan lebih suka tidur. Saya pikir Ibu ini depresi sehingga pernah saya ceritakan kepada kerabat kami yang dokter saraf juga, kemudian coba kami bawa ke Psikiater, tapi hasilnya nggak ada depresi katanya.


Masalahnya, kondisi Ibu terus memburuk. Ibu makin nggak bisa jalan dan kata dokter kedua yang pegang Ibu berbulan-bulan sampai hampir setahun ini mengatakan itu wajar. Selalu itu yang dikatakan sehingga keluarga merasa semua itu normal. Saya sudah sering sampaikan kepada Bapak supaya cari dokter lain atau kembali ke dokter pertama. Bahkan terakhir kemarin sempat diminta dirawat oleh kerabat kami sendiri di salah satu Rumah Sakit di Malang, tapi Bapak selalu menolak. Katanya obatnya sama saja, kok. Huft…


Sebelumnya, karena kondisi Ibu terus memburuk, Ibu saya dibawa ke dokter lain untuk second opinion. Namun, bahkan kondisi Ibu nggak diperiksa langsung. Saya kaget dan merasa aneh sih kenapa bisa nggak cek langsung, tapi sudah ngasih obat? Apakah memang boleh begini? Sedangkan kerabat kami yang dokter saraf di Rumah Sakit lain bahkan nggak berani mendiagnosis dan memberikan treatment sebelum cek dari awal lagi secara langsung. Padahal, dia tahu persis kondisi Ibu dari awal sakit. 


Sampai akhirnya, kondisi terakhir kemarin Ibu sudah kesulitan menelan dan ada sesak. Saat itulah baru diputuskan dibawa ke Rumah Sakit lain. Sejujurnya, saya sendiri merasa kok kalau ini terlambat. Namun, qadarallah baru ditangani oleh dokter berbeda setelah kondisinya semakin memburuk seperti itu. 


Jangan Takut Pergi ke Dokter

Zaman sekarang, semua informasi bisa kita ketahui dengan luas di dunia maya. Bagi pasien, memang sudah seharusnya mencari tahu sendiri tentang penyakit yang diderita, obat-obatan yang akan dikonsumsi, serta hal lainnya. Jadi konsumen kesehatan itu harus pinter. Begitu yang diajarkan di Milis Sehat.


Saat aktif belajar di Milis Sehat, saya sangat kaku terutama sama dokter yang gampang banget ngasih antibiotik. Karena nyari dokter yang RUM itu susahnya subhanallah dan saat itu saya lagi senang-senangnya debat dan ngeyel…kwkwk. Kalau hanya batuk pilek, kenapa kok dikasih antibiotik segala? Sampai akhirnya saya bisa menemukan dokter-dokter yang nggak overtreatment, enak diajak diskusi, dan bikin tenang. Lebih penting lagi, nggak masalah ke dokter dan nggak bawa pulang obat sekantong kresek. Kalau memang nggak perlu, kenapa mesti dikasih? Kita menjadi salah satu penyebab seorang dokter bisa RUM atau nggak, lho. Salah satu dokter spesialis anak di Hermina Jatinegara bilang sendiri ke saya dan mengatakan apa yang saya lakukan sudah benar.


Berkaca dari kejadian Ibu, rasanya pengin banget puter waktu. Orang-orang di kampung itu takut kalau berurusan dengan Rumah Sakit dan dokter. Ini cerita dari Ibu saya sendiri karena memang banyak cerita-cerita horor berlarian ke mana-mana. Padahal, belum tentu benar, lho.


Orang-orang juga lebih percaya sama selain dokter buat ngobatin penyakit. Apalagi kalau dokter spesialisnya masih muda, sangat diragukan sama mereka. Padahal, dokter mudanya sudah lompat kelas beberapa tahun, jadi wajar sudah pakai jas putih di usia muda...kwkwk. 


Agak berat sih memaksa keluarga kita supaya mendengarkan apa yang kita arahkan, sedangkan mereka sendiri nggak percaya. Jadi, pada akhirnya kayak bertentangan, kan?


Saya berharap kondisi seperti ini tidak terjadi kepada yang lain. Semoga bisa jadi pelajaran serta pengalaman berharga. Kondisi Ibu saya memang sudah sangat menurun dibandingkan yang dulu. Sekarang hanya bisa minum susu lewat selang. Sudah nggak bisa makan sama sekali. Namun, saya masih berharap dengan sangat semoga Ibu bisa membaik dan pulih lagi atas izin Allah.


Salam hangat,


Comments