Bedah Buku Jangan Jadi Orang Tua Durhaka

Tuesday, November 19, 2024

bedah buku muyassaroh


Sekitar akhir Oktober lalu, saya berkesempatan mengisi bedah buku ‘Jangan Jadi Orang Tua Durhaka’ bersama penerbit Rene Islam di Pesantren Terpadu Daarul Fikri, Cikarang. Buku ini ditulis oleh Ahmad Rifa’i Rif’an yang kebetulan memang terbit di Rene Islam juga. Penerbit berusaha menggabungkan bedah buku ini dengan buku saya, Building Islamic Habit.


Sejak menjadi orang tua, saya senang membaca buku-buku parenting. Salah satu buku parenting favorit saya adalah buku The Book You Wish Your Parents Had Read yang ditulis oleh Philippa Perry dan diterbitkan dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Renebook.


Kenapa saya suka membaca buku parenting? Karena buat saya, menjadi orang tua itu butuh ilmu. Dan ilmunya bukan hanya sekadar kita tahu bahwa menjadi anak harus berbakti dan menjadi orang tua harus baik sama anak, tapi lebih dari itu ada banyak cara dan hal yang mesti diusahakan supaya hubungan kita sama anak nggak saling menzalimi.


Alasan lainnya adalah karena saya juga sedang berusaha menyembuhkan luka pengasuhan yang sering bikin gaduh terutama setelah saya menjadi orang tua baru. Baru paham ya kalau luka pengasuhan itu bisa seberisik ini, bukan hanya membingungkan buat kita, tapi juga membuat anak kita jadi korban trauma pengasuhan berikutnya.


Kata orang, anak zaman dulu itu kuat-kuat, lho. Digebukin juga nggak trauma! Eits, saya hanya mau bilang, trauma itu sifatnya pribadi banget, ya. Ada anak yang sering dibentak dan dikasarin, tapi dia gapapa. Namun, ada juga anak yang akhirnya jadi trauma setelah diperlakukan dengan buruk oleh orang tuanya.


Meski saya sudah merasa jauh lebih baik, sudah berdamai, sudah memaafkan, tapi setiap kali menulis atau membahas hal semacam ini bikin mata panas dan akhirnya nangis. Rasanya secapek itu. Hal yang paling membuat saya sakit adalah ketidaktahuan saya tentang trauma itu yang akhirnya membuat saya melakukan hal-hal yang kurang baik kepada anak pertama saya.


Saya sudah membaca banyak buku parenting, saya sudah pernah konsultasi ke psikolog, saya sudah mengusahakan semuanya, tapi saya merasa sudah cukup terlambat. Hanya setelah membaca buku dari Philippa Perry, saya jadi tahu tidak ada kata terlambat untuk memperbaiki hubungan kita dengan anak-anak. Meski sebenarnya saya sudah melakukannya sejak lama, tetap saja hal itu membuat saya merasa lebih lega. Ternyata saya masih punya kesempatan.


Orang tua kita juga pasti punya trauma. Karena ketidaktahuan mereka, trauma itu akhirnya diwariskan kepada kita. Anak 90an katanya termasuk yang paling aware dengan trauma pengasuhan karena mungkin kita sudah lebih leluasa mencari informasi di internet dan juga bisa membaca buku lebih banyak.


Kita tidak boleh membenci siapa pun. Poinnya, terima, maafkan, dan berdamailah. Dengan begitu, kita bisa menjalani hidup tanpa tekanan lagi. Terlihat mudah? Kita tidak akan pernah tahu kondisinya akan sesulit apa kecuali ketika kita ada di posisi orang tersebut. Jadi, jangan mudah menjudge orang lain karena kita tidak pernah tahu perjuangan sesulit apa yang sudah diusahakannya supaya sembuh dari traumanya.


Memangnya Ada Orang Tua Durhaka?

bedah buku muyassaroh
Photo by Kristina Tripkovic on Unsplash


Sempat ada yang bertanya tentang penggunaan kalimat pada judul buku ini. Selama ini, kita hanya tahu bahwa kebanyakan yang durhaka itu adalah anak kepada orang tuanya. Memangnya orang tua juga bisa durhaka? Bisalah :D


Kalau ada orang tua yang zalim sama anaknya, nggak mau memberi hak mereka, hanya menuntut anak memberi dan menganggap membesarkan anak sebagai investasi yang ketika ia besar nanti bisa menghasilkan uang, yang ketika mendidik lebih banyak toxicnya, suka marah-marah nggak jelas, menganggap anak sebagai beban, padahal mereka juga yang berdoa pengin diberi keturunan, yang selalu mengungkit kebaikan, padahal tugas membesarkan itu kewajiban yang tidak boleh menuntut balas, dan yang sejenisnya, maka sangat mungkin orang tua tersebut bisa disebut durhaka atau zalim.


Memangnya ada orang tua seperti itu? Adaaa! Ada seorang ibu yang selalu menyebut anaknya merepotkan karena sering sakit-sakitan, dianggap nggak tahu apa-apa dan dilarang berpendapat hanya karena menganggap dirinya (orang tua) lebih tahu segalanya, sehingga hubungan mereka menjadi tidak sehat, penuh luka, penuh trauma, bahkan sampai dewasa pun masih diperlakukan dengan sama buruknya.


Di posisi si anak, pasti bisa dibayangkan betapa membingungkannya perasaan yang diterima saat diperlakukan seperti itu. 


Perasaan kita akan serba bingung karena sebagai anak rasanya mustahil membenci orang tuanya sendiri. Anak itu sangat pemaaf. Berapa kali kita melakukan kesalahan, tapi mereka memaafkan dan seolah lupa dengan begitu mudahnya. Kalau orang tua nggak peka dan nggak sadar dengan kesalahannya, betapa kasihannya si anak ini :(


Poin-Poin Penting Dalam Bedah Buku Jangan Jadi Orang Tua Durhaka

bedah buku muyassaroh
Photo by Helena Lopes on Unsplash


1. Berikan perhatian serta ciptakan bonding

Kemarin, sempat ada yang bertanya tentang trauma pengasuhan serta ketakutan orang tua akan pergaulan anak, padahal anaknya sudah di pesantren, tapi orang tua tetap merasa khawatir karena anaknya suka berbohong dan memilih teman-teman yang kurang baik.


Saya punya anak yang sekarang sudah kelas 8. Anak segini lagi masya Allah, ya? Kebanyakan teman-teman saya mengeluh karena anaknya yang sudah beranjak remaja suka aneh-aneh dan bikin pusing.


Sejujurnya, saya sedang ada di fase menikmati banget peran saya sebagai seorang ibu. Hubungan kami cukup baik. Meski usia anak pertama saya sudah beranjak remaja, tapi kami tetap nyambung, obrolan kami tetap hidup. 


Kami memang sepakat membatasi penggunaan gadget. Jadi, meski dia sudah sebesar itu, dia tidak punya gadget sendiri. Dia punya uang, dia bisa beli, tapi poinnya adalah kami merasa usianya belum cukup untuk punya gadget sendiri. Dia boleh pakai punya kami, dia juga tetap punya sosial media, dia pernah main game, tapi di rumah, tidak ada aplikasi game yang diinstall di gadget mana pun. Kami sepakat karena itu tidak baik, bikin kecanduan, dan bikin malas.


Saya tahu hampir semua teman dekat dia. Bahkan beberapa kali saya biasa membalas chat temannya dan mereka nggak sadar kalau itu saya…kwkwk. Saya berusaha mengapresiasi temannya supaya dia paham bahwa teman dia juga saya terima dengan baik. Semisal, saya belikan novel untuk temannya yang sama-sama suka membaca. Hal sepele, tapi mungkin buat anak-anak nggak sesederhana itu.


Hal yang saya usahakan membuat hubungan kami jadi dekat. Jika kami dekat, semua hal bisa dia ceritakan kepada orang tuanya karena dia merasa aman. Andai dia melakukan kesalahan sekalipun, seharusnya dia bisa tetap jujur kepada orang tuanya karena tahu, seburuk apa pun itu, orang tuanya akan menerima.


Jika ada hubungan yang renggang antara anak dan orang tua, coba pelan-pelan kita evaluasi kembali pola asuh kita selama ini. Anak akan mencari teman yang mau menerimanya. Anak cenderung mudah percaya kepada orang lain karena di rumah, dia tidak mendapatkan perhatian tersebut.


2. Anak-anak akan belajar dari kesalahan

Anak-anak itu juga manusia. Dia akan melakukan kesalahan, tapi gapapa karena mereka juga sedang belajar. Respon yang tepat dari orang tua membuat kesalahan itu benar-benar akan jadi pembelajaran buat anak-anak kita.


Misal, ketika anak mengakui bahwa dirinya telah berbohong, apresiasi keberanian serta kejujurannya dulu dibanding menghakiminya. Terima kasih ya, Nak sudah jujur sama Bunda. Sesimpel itu. Apalagi ini masih anak kecil. Berbohongnya juga tentang apa, sih? Kadang, respon kita suka berlebihan. Merasa sudah jadi malaikat atau apa ya sampai-sampai lupa kalau dulunya kita lebih tengil…kwkwk. 


Supaya nggak terulang, jangan bikin anak takut setelah dia berkata jujur. Kalau respon kita sebaliknya, dijamin besok dan seterusnya si anak akan menyimpan rahasianya sendiri dibanding kena omel orang tuanya. Meski nggak selalu begitu juga, ya? kwkwk.


Kita pernah menjadi anak-anak, tapi mereka belum pernah menjadi orang tua. Jadi, apa salahnya jika kita saja yang belajar memahami mereka?


Waktu kecil, kita merasa nggak nyaman dibentak, dicubit ketika ada tamu hanya karena kita mondar mandir di depan mereka, nggak diapresiasi hanya karena nggak dapat peringkat pertama, dan sebagainya. Apa salahnya jika kita berusaha memahami perasaan mereka karena kita pernah menjadi seusia mereka, kan?


3. Semua Anak Itu Pintar

Semua anak itu pintar, tapi beda aja kepintarannya. Anak saya lebih bagus akademiknya, tapi dia nggak jago futsal. Temannya, dari SD sampai di pesantren selalu jadi tim futsal sekolah. Ini lho yang saya maksud. Kepintaraan tiap anak itu beda jenisnya aja. Dan buat saya pribadi, anak-anak nggak harus selalu jadi juara untuk membuktikan bahwa dia hebat. 


Jadi, plislah jangan banding-bandingin anak kita dengan anak lain, jangan titipkan impian kita juga kepada mereka. Biarkan mereka hidup sesuai fitrahnya dan berusaha untuk mimpi-mimpinya sendiri.


4. Sembuh dari Trauma Pengasuhan

Tentu kamu tidak sendirian, ternyata ada kok yang mengalami trauma pengasuhan dan itu banyak. Ada anak yang sampai bunuh diri karena merasa dirinya belum bisa mewujudkan keinginan orang tuanya, hanya merasa menjadi beban, merasa nggak berharga, dan sebagainya.


Ardhi Mohamad dalam bukunya yang berjudul What's So Wrong About Your Self Healing mengatakan bahwa kita yang sekarang dibentuk dari bagaimana cara orang tua kita mengasuh dan membesarkan kita. Kita tidak sedang ingin menyalahkan orang tua. Jangan salah paham. Kita juga tidak sedang membandingkan pola asuh orang tua kita dengan kita sekarang, tapi hanya dengan begitu kita bisa belajar dari kesalahan mereka dan diharapkan tidak akan terulang hal yang sama kepada anak-anak kita.


Saya yang penakut, saya yang selalu kurang percaya diri, saya bahkan hampir selalu takut bertemu manusia lain, selalu gugup dan demam panggung, bahkan hampir tidak bisa menerima diri saya, sedikit banyak juga dipengaruhi oleh bagaimana orang tua saya membesarkan saya dulu. Bahkan mungkin hingga sedewasa ini, kadang orang tua belum bisa memberikan kepercayaan. Merasa bahwa saya tidak pernah mampu melakukan ini dan itu, padahal saya sudah mau berusaha. Rasanya, patah hati banget :(


Waktu kelas 6 SD, saya pernah membuang tahi lalat di wajah karena selalu jadi bahan olok-olokan di keluarga kami. Kayak buat bercandaan gitu. Nggak ada yang bertanya apakah saya nyaman diperlakukan seperti itu? Karena capek dan malu, saya buang sendiri sampai berdarah-darah. Kebayang nggak sih kalau sampai infeksi?


Ketika punya anak dan qadarullah dia punya tahi lalat di pipinya, saya jadi aware banget sama kondisi mentalnya. Benar saja, sejak TK, banyak kakak kelas atau adik kelas yang mengoloknya. Bahkan lebih parah ada wali murid yang melakukannya sambil menunjuk mukanya. 


Kebayang nggak sih perasaan dia? Namun, saya berusaha memahami apa yang dirasakannya, membuatnya percaya bahwa punya tahi lalat itu bukan kekurangan yang mesti ditakuti. Ayahmu punya tahi lalat, tapi dia juga hebat. Jadi, gapapa. Manusia punya kekurangan, tapi ketika kamu fokus sama kelebihanmu dan berusaha menunjukkan bahwa kamu orang yang baik, mereka nggak akan peduli lagi dengan kekuranganmu itu. Dan benar, you did it, Nak!


Sembuh dari trauma pengasuhan bisa dimulai dengan menerima dan memaafkan orang tua kita. Meski prosesnya tidak mudah, tapi percayalah kita bisa memutus rantai trauma itu supaya tidak diwariskan kepada anak-anak kita. Jika sangat dibutuhkan, jangan segan untuk berkonsultasi dengan psikolog karena itu akan sangat membantu.


5. Jangan baperan sama Anak!

Maksudnya gimana, nih? Ustadz saya yang kebetulan memang seorang profesor, konselor, serta dosen berulang kali mengatakan, jangan mudah baper sama anak. Ketika kita sudah tua, anak jarang telepon, kita jadi perasa. Ketika anak jarang pulang, kita jadi kesal. Nikmati hidup, jangan suka baperan sama anak. Karena ketika kita kesal, doa kita bisa diijabah sama Allah. kalau anak celaka, kita sendiri yang akan sedih.


Anak-anak kita tidak selalu anteng, suka gerak sana sini, ada juga yang setelah remaja aneh-aneh kelakukannya, plis didoain aja, ya. Jangan baperan sama anak. Doakan yang baik-baik dan banyak-banyak evaluasi diri.


Gengsi banget ya jadi orang tua sampai-sampai malas minta maaf sama anak? Jangan ya dek ya…kwkwk. Egonya orang tua tinggi banget sampai ngalah-ngalahin monas? Jangan ya dek ya...huhu. Dunia terus berkembang. Cobalah menerima jika mungkin anak kita sekarang lebih banyak tahu ini itu dibanding kita. Cobalah lebih legowo ketika bikin salah. Jangan gengsi minta maaf.


Kadang, ada anak yang membenci orang tuanya disebabkan kelakukan orang tuanya sendiri. Orang tua juga manusia, mustahil nggak pernah salah. Jadi, gapapa kalau kita meminta maaf atau membuka ruang diskusi dengan mereka karena komunikasi itu penting banget.


Luar biasa sekali sih ketika kita jadi orang tua. Harus banyak belajar dan legowo. Menjadi orang tua nggak ada sekolahnya, tapi ada bukunya, ada seminarnya, ada video edukasinya, pintar-pintar saja kita mempelajarinya.


Menjadi orang tua juga sama halnya perjalanan pernikahan kita. Belajarnya seumur hidup. Perjalanannya akan memakan waktu sangat lama. Kalau bahan bakarnya nggak cukup, perjalanan kita akan terhambat. Jadi, plis jangan malas menginvestasikan waktu, tenaga, dan uang untuk belajar menjadi orang tua yang baik.


Semoga bermanfaat dan salam hangat,

Comments