Alasan dan Pertimbangan Orang Tua Menyekolahkan Anak ke Pesantren

Saturday, July 15, 2023

Alasan dan Pertimbangan Orang Tua Menyekolahkan Anak ke Pesantren
Photo by sam sul on Unsplash


Nggak ada yang benar-benar mengerti rasanya, kecuali kita yang mengalami semuanya sendiri.


Gimana rasanya ketika anak kita masuk pesantren? Sedikit sharing dari saya sebagai orang tua yang baru ditinggal anak sulung belajar ke pesantren. Sebuah curhatan yang sudah terlalu lelah dipendam sendiri. Sudah capek hari-hari nangis diam-diam di pojokan karena kangen banget sama anak. Apalagi mengingat waktu sebulan sama dengan tiga puluh hari itu nggak sebentar, rasanya pengin dipercepat supaya bisa lekas bertemu.


Dulu, kami sebagai orang tua memang menyarankan si Kakak masuk pesantren setelah lulus SD. Setelah dia masuk kelas 6 dan banyak temannya yang masuk pesantren, pelan-pelan dia juga mau belajar mandiri. Jadi, nggak ada yang memaksa dia mau melanjutkan ke mana. Keputusan diambil bersama dan sesuai dengan keinginannya.


Hampir seminggu dia masuk pesantren, antara masih nggak percaya sama selalu kepikiran gimana dia di sana? Apakah dia makan dengan baik atau malah malas-malasan makan ketika lauknya nggak sesuai selera? Apakah dia tidur dengan cukup? Apakah dia happy di sana bersama teman-teman barunya?


Orang tua selalu serba nggak tegaan, terutama saya sebagai seorang ibu. Padahal di rumah, dia juga tidak dimanja seperti anak sultan. Hanya ketika berpisah, pikiran emaknya jadi serba khawatir. Takut begini dan begitu. Dekat sering rame dan ribut, jauh jadi kangen…Huaaa.


Paling berasa rumah jadi sepi. Si Kakak yang biasa rame sama adeknya, tiba-tiba jadi sunyi. Nggak ada lagi keributan kecil. Lihat tempat tidur dan baju-bajunya jadi bikin kangen. Saya jadi kehilangan asisten yang dengan senang hati selalu bantu nge-print soal-soal adeknya, bantu bikin label nama untuk mapel si adek, bantuin saya ngedit video untuk konten di sosmed, sampai kemarin saya sempat kebingungan karena lupa apa yang diajarkan si Kakak...huhu. Bahkan sambil ngetik cerita ini saja malah jadi mewek sendiri.


Si Kakak, anak sulung yang paling tahu salah dan kurangnya kami sebagai orang tua baru. Dia yang sering mengalah hanya karena sudah jadi Kakak, dia yang tidak banyak minta dan menuntut, tapi diam-diam pengin bahagiain orang tuanya. Dia yang stay cool, kayak orang cuek, tapi sebenarnya baik, hanya saja sedikit kaku. Dia yang nggak punya banyak syarat dan lebih banyak mengiyakan ketika mau masuk pesantren. Tetap kalem sampai detik-detik kepergian kami dari sana.


Kadang, hal kayak gini yang bikin orang tua jadi nelangsa mau meninggalkan anak di pesantren. Malam sebelum keberangkatannya, dia sempat nggak bisa tidur. Terjaga sampai jam 10an malam. Padahal, jam 9 aja biasanya dia sudah tidur selepas membaca buku. 


Malam itu berbeda. Katanya nggak ngantuk, tapi juga nggak kepikiran. Katanya, “Kakak, kan hebat.”


Baiklah, saya percaya dia baik-baik saja, meski ini nggak wajar. Mungkin, dia memikirkan banyak hal, tapi bingung menjelaskan apa yang dia rasakan. Gapapa, semua orang pasti pernah ada dalam kondisi nggak baik-baik saja dalam hidupnya. Bukan hanya dia yang akan belajar beradaptasi, saya juga.


Beberapa hari sebelum dia berangkat, saya sempat nggak tahan dan akhirnya nangis sambil meluk dia. Saya tahu ini nggak baik, tapi saya nggak bisa nahan…huhu. Bahkan meski dia buang muka, pura-pura cuek, saya tetap nggak bisa berhenti nangis…hiks. Cengeng banget emaknya :D


Waktu hari keberangkatan, dia cool amat. Setiap ditanya perasaannya, dia jawab dengan cuek, biasa aja. Harusnya saya happy dong dia begitu. Harusnya, ya. Hanya saja, saya nggak bisa sekuat itu melepas dia secepat ini.


Hampir seharian kami mendampingi Kakak di pesantren, nggak ada yang dia minta. Bahkan ketika ditanya, andai minggu depan boleh jenguk, apa kamu mau Bunda dan Ayah datang? Jawabnya, terserah saja. 


Dan ternyata, dianjurkan sebulan setelah diantar baru boleh dijenguk. Bersyukur anaknya nggak berharap banyak dan minta sering ditengok. Bukan kami nggak sayang dan membiarkan dia sendiri di sana, tapi sejauh pengalaman saya dan ayahnya yang pernah mengenyam pendidikan di pesantren, memang cara ini bisa membuat anak jadi lebih mudah beradaptasi.


Bayangkan ketika dia sudah belajar beradaptasi dan pelan-pelan melupakan rumahnya, tiba-tiba kita samperin, bikin dia kangen rumah lagi, pengin tidur di kamarnya lagi, dan sebagainya. Apa nggak lebih kasihan?


Sebenarnya kangen, sampai sering nangis malam-malam, tapi saya tahu kami berdua juga sedang belajar beradaptasi, jadi mesti dikuatin. Jangan sampai bikin anak lebih sedih. Asal kondisi dia baik, dia happy, dia aman, nggak ada laporan macam-macam, insya Allah saya bisa tahan sampai sebulan ke depan.


Ada momen paling nyesek, sih waktu antar dia ke pesantren. Yup, ketika saya sudah mau pulang ke rumah. Saya sedih bukan karena dia ikut nangis dan merengek atau apa pun. Dia tenang, benar-benar setenang itu ketika kami berpamitan. Ketika saya sudah masuk mobil dan wajahnya mulai terlihat lebih jauh sambil melambaikan tangan, di situ saya sudah nggak berani noleh lagi. Kemudian suami ingatkan, "Dia santai, kok. Gapapa."


Iya, insya Allah gapapa. Ini hanya sementara waktu.


Alasan Menyekolahkan Anak ke Pesantren

Alasan dan Pertimbangan Orang Tua Menyekolahkan Anak ke Pesantren
Photo by Madrosah Sunnah on Unsplash


Masuk pesantren atau tidak, sebenarnya bukan tentang pendidikan mana yang lebih baik atau tidak. Belajar agama itu kewajiban, tapi nggak melulu bisa ditempuh hanya di pesantren. Saya juga bukan orang tua yang mengharuskan anak ke pesantren hanya karena kami pernah di pesantren. Saya lebih senang keputusan mau belajar di pesantren benar-benar datang dari keinginan dan kesadaran anak sendiri.


Seperti halnya si Kakak, dia sadar betul, tinggal di rumah dan selalu bersama orang tua membuat dia jadi kurang mandiri. Meski setahun terakhir dia belajar banyak hal soal kemandirian dan pekerjaan rumah, tapi dia tahu itu nggak cukup.


Dia tahu, belajar di pesantren berarti berpisah sementara waktu dari orang tua, nggak lagi tidur di kamarnya yang nyaman, harus lebih sabar ketika tinggal bersama banyak santri dengan rutinitas yang sama, nggak bisa banyak me time di rumah sambil baca setumpuk buku-buku komik pendidikannya. Dia tahu itu, tapi dia mau mencoba dan saya bangga, masya Allah.


Alasan ke sekian kenapa kami mau menyekolahkan anak ke pesantren, bukan untuk melepaskan tanggung jawab seperti dikatakan oleh sebagian orang tua, biar nggak ruwet di rumah, biar orang tua nggak repot mendidik anak remajanya. Insya Allah, sampai detik ini kami nggak pernah kepikiran hal itu. Mereka tetap amanah yang Allah berikan kepada kami. Sampai kapan pun, anak-anak adalah tanggung jawab kami.


Sama halnya ketika anak-anak masuk SD, kami nggak melepaskan tanggung jawab mendidik sepenuhnya kepada guru-guru mereka. Saya masih membantu anak-anak belajar mengaji di rumah, mendampingi belajar, membantu murajaah, dll. Saya sadar betul, memang sudah jadi kewajiban kami mendidik mereka, meski saya juga sadar, nggak ada orang tua yang sempurna. Pasti dari sisi kami juga banyak salah dan kurangnya.


Anak-anak butuh belajar ilmu agama lebih dalam. Di mana itu belum mereka dapatkan di rumah. Bukan hanya belajar mengaji, belajar bersosialisasi dengan banyak orang juga perlu. Ketika dia di pesantren, dia akan mendapatkan banyak pengalaman berharga.


Saya sering katakan, jalani saja dulu dan nikmati. Ini mungkin akan jadi pengalaman berharga. Sibukkan diri dengan kegiatan positif. Jangan ragu ikut banyak kegiatan yang kamu suka supaya tidak melulu ingat rumah. Saya yakin, semua itu akan jadi pengalaman berharga yang akan selalu diingat.


Anak Adalah Titipan

Alasan dan Pertimbangan Orang Tua Menyekolahkan Anak ke Pesantren
Photo by Masjid MABA on Unsplash


“Ya, Allah… Anak ini adalah milik-Mu. Dia Hanya diditipkan kepada kami. Dia punya-Mu. Maka tolong, jaga dia ketika kami nggak bisa melihat dan menjaganya secara langsung.”


Ketika mau masuk pesantren, pasti ada rasa khawatir terlebih melihat banyak kisah pilu tentang bullying di beberapa pesantren lainnya. Saya juga nggak bisa pura-pura tidak tahu, sebab saya juga mengikuti beritanya. Apalagi di zaman sekarang, anak SD saja bisa parah banget kalau nge-bully temannya. Naudzubillah.


Saya juga mengkhawatirkan hal yang sama, terutama ketika anak jauh dari pengawasan kami. Hanya saja, mau di mana pun, anak-anak kita nggak akan punya lingkungan yang steril. Teman-temannya dilahirkan dan dibesarkan dari lingkungan berbeda. Hal-hal yang kurang dari pergaulan mereka adalah hal wajar, tapi harapannya, di pesantren bisa lebih aman dan disaring dibandingkan di luar, meski nggak ada jaminan soal itu.


Saya berharap, kebiasaan kami di rumah untuk saling cerita mengenai banyak hal bisa membuat anak lebih terbuka ketika ada sesuatu. Kalaupun nggak betah, dia bisa bilang. Kalaupun ada hal-hal yang begitu berat, semisal tentang pelajaran agama, dia bisa cerita dan kami bisa cari solusinya sama-sama.


Nggak sedikit anak yang kabur dari pesantren karena nggak kuat dengan tekanan dari gurunya yang menuntut terlalu tinggi. Setiap anak ini berbeda kemampuannya. Seperti Kakak, dia nggak terbiasa belajar bahasa Arab yang terlalu sulit. Di sekolah dulu, dia hanya belajar materi sederhana. Waktu dia lihat buku mata pelajarannya di pesantren, dia kaget. Kok gini? Hehe. Gapapa, Bunda sama Ayah juga kaget…kwkwk.


Saya berpesan, kalau nggak mengerti, kamu bisa tanya musrifmu. Kamu bisa belajar dari awal dan saya yakin, nggak semua anak siap juga, kok dengan materi-materi baru seperti itu. Jadi, gapapa :)


Saya merasa, masa di pesantren dulu bukan masa yang melulu indah. Saya sering kebagian piket di tempat sampah *apakah karena saya terlalu rajin? Kwkwk. Ketika musim hujan, pijakan kaki empuk, hangat, dan banyak belatung. Dulu saya happy, lho ngejalaninnya, sedangkan sekarang saya bisa menertawakan semuanya :D


Saya juga punya mimpi jadi penulis ketika ada di pesantren. Qadarallah, banyak kegiatan yang membuat saya makin termotivasi, termasuk ketika bisa berjumpa dengan penulis senior dari Malang, sampai akhirnya saya bisa berjumpa dengan Asma Nadia yang bukunya sering saya baca waktu di pesantren, bisa berkolaborasi dengan Bunda Helvy Tiana Rosa untuk membuat buku anak. Saya tahu, semua ini tidak datang tiba-tiba. Ada doa-doa dari orang tua dan guru-guru saya. Saya tidak berhasil sendirian.


Saya pun berharap, Kakak bisa menikmati waktunya di sana dengan baik dan sebanyak-banyaknya mencari pengalaman berharga untuk bekal hidup, baik di dunia dan akhiratnya. Insya Allah.


Semoga sedikit curhatan ini bisa jadi hiburan juga, ya buat orang tua yang sudah dengan ikhlas melepas anak-anaknya masuk pesantren. Insya Allah, kita bisalah, ya menunggu waktu jenguk sampai bulan depan…kwkwk. *nyari teman :D


Salam hangat,


Comments