Obat Tanpa Label, Bolehkah?

Thursday, January 24, 2019

Obat Tanpa Label, Bolehkah?
Photo by Christina Victoria Craft on Unsplash


Pernah nggak sih ketika kamu datang ke dokter, kemudian mendapatkan obat tanpa label? Obatnya bisa dalam bentuk sirup atau tablet yang sengaja dilepas bungkusnya entah karena alasan apa yang tidak diketahui oleh pasien sebab tidak ada konfirmasi juga dari dokter yang bersangkutan.


Saya pernah. Ketika masih kecil, orang tua selalu membawa saya ke bidan yang sudah terkenal banget di tempat kami. Orang tua biasanya tidak langsung membawa saya ke bidan paska demam, biasanya menunggu hingga 3 harian, barulah dibawa ke sana.


Tak jarang, bidan itu dianggap manjur dan tokcer banget. Bahkan sebelum saya minum obatnya, pulang dari sana saja demam sudah ilang, lho. Wah, ajaib banget tuh bidan, ya…hihi. Belakangan setelah menjadi seorang ibu saya pun paham kenapa itu bisa terjadi. Yup! Alasannya tak lain karena memang virusnya sudah mati sehingga demam pun sudah turun. Biasanya pada kasus penyakit karena terinfeksi virus biasa, demam akan hilang setelah 72 jam. Meski tak jarang naik turun juga dalam beberapa minggu. Tapi, zaman dulu jarang banget sakit disebabkan common cold bisa sampai lama demamnya, beda dengan sekarang atau bisa jadi saya yang lupa…hihi.

 
Sebenarnya, memang ada yang salah dalam hal ini. Pertama, sebenarnya bidan tugasnya bukan mengobati pasien, tapi membantu orang melahirkan meski saat ini tak jarang banyak juga bidan yang merangkap sekaligus sebagai tenaga medis yang bisa meresepkan obat buat semua orang yang sakit, tak terkecuali bagi anak-anak. Saya sebenarnya tidak terlalu memerhatikan ini, sampai akhirnya kerabat kami yang seorang dokter dan dosen di salah satu Universitas besar di Malang berkisah tentang bayi yang dilarikan ke ICU akibat salah ditangani oleh bidan. Beliau sempat berkata, “Tugas bidan, kan hanya membantu orang melahirkan, bukan mengobati pasien seperti dokter. Sekolahnya saja beda. Kalau sudah begini, kasihan pasiennya.”


Tercengang sudah saya di kursi belakang tepat di belakang suami yang sedang mengemudikan mobil. Kalimat itu memang benar adanya. Memang ada beberapa bidan yang mampu melakukannya, tetapi tak semua bidan dapat diandalkan untuk meresepkan obat buat orang sakit.


Yang kedua, obat yang diberikan oleh bidan langganan orang tua saya selalu tanpa label. Dulu mana mengerti kalau yang begini ternyata tidak diperbolehkan. Kami berpikir bisa jadi bidan itu nggak mau sampai pasiennya membeli obat sendiri, jadi dibuang labelnya supaya lebih hati-hati dan bisa berkonsultasi dengan bidannya lagi jika sakit.


Jadi, obat racikan sudah jelas nggak bakalan dikasih tahu karena sudah dihaluskan, ya. Nah, tablet-tablet pun dilepas dari bungkusnya dan dimasukkan ke dalam plastik dan hanya diberi aturan minum saja. Begitu juga dengan label sirup obat. Nggak ada label yang bisa kami baca apalagi kami tahu buat apa sebenarnya.


Hanya saja, karena minimnya pengetahuan tentang ini, kami bergeming. Yang penting anak sehat. Yang penting bisa sembuh dan enak makan. Masalah obat apa dan untuk apa, kami tidak terlalu memusingkan itu.


Tapi, setelah mengenal milis sehat dan membaca buku dokter Wati, saya jadi tahu bahwa pemberian obat tanpa label itu sangat tidak dibenarkan. Dan, yang lebih mengejutkan lagi, saya pun menemui hal yang sama di salah satu klinik di Jakarta.


Waktu itu saya dan suami terpaksa datang ke klinik saat si sulung kejang demam karena saya butuh resep obat kejang dari dokter. Kalau ke rumah sakit biasa sudah pasti disuruh rawat inap meski kondisi paska kejang demam baik-baik saja.


Di klinik tersebut, saya mendapatkan beberapa obat termasuk vitamin, antibiotik yang juga tanpa label. Obatnya dalam bentuk sirup. Sempat kesel dan protes sama asistennya yang sudah menyiapkan obat, “Kenapa nggak dikasih label, Mbak? Kayak gini, kan nggak boleh!” ucap saya ketus…hihi. Galak ya, kalau soal beginian mah saya bisa ngamuk. Udah nggak rasional, sakit apa belum jelas udah dapat antibiotik, eh malah ditambah label dibuang pula.


Tapi, karena kondisi anak nggak memungkinkan, dan berkat cubitan dari suami, saya pun diam sambil lihat mbaknya kebingungan mau jawab apaan…hihi. Muyass jahaaat….kwkwk. Saya nggak bermaksud jahat, tetapi membuang label obat itu memang tidak diperbolehkan dan termasuk melanggar kode etik karena dokter tidak memberikan hak pasien.


Yang lebih ngeri sih takut salah obat. Karena pernah ada tetangga juga diresepkan obat untuk usia lebih besar. Qadarallah orang tuanya nggak baca labelnya meski nggak dilepas karena sudah percaya banget, ya sama dokternya. Obat pertama dimuntahkan, tetapi orang tua memaksakan meminumkannya lagi untuk keduanya kalinya. Padahal pemberian obat kedua ini seharusnya tidak boleh, harus tunggu waktu minum obat berikutnya sebab kita nggak pernah bisa memastikan berapa obat yang masuk dan berapa obat yang keluar.


Setelah berhasil meminumkan obat kedua kalinya, barulah dia baca labelnya, ternyata obat itu buat anak usia lebih besar, sedangkan anaknya masih di bawah satu tahun. Ngeri banget, bayi itu keracunan obat, dibawa ke rumah sakit, disedot sampai membiru, qadarallah akhirnya meninggal.


Sebenarnya kejadian di depan mata seperti ini juga jadi trauma tersendiri buat saya, kenapa saya begitu cerewet dan kekeh kalau diberikan obat yang tidak sesuai dengan kondisi anak, atau memaksa melakukan tindakan yang tidak perlu seperti rawat inap tanpa alasan benar. Karena saya sudah melihat banyak hal di depan mata sendiri akibat nggak rasionalnya penanganan dari tenaga medis.


Lanjut pada masalah obat atau sirup obat tanpa label, sebenarnya boleh atau nggak melakukan hal ini? Kalau nggak boleh, kenapa masih banyak tenaga medis yang melakukan hal serupa?


Menghilangkan label pada obat sangat tidak dibenarkan

Menurut dokter Wati yang merupakan pengasuh milis sehat, membuang label atau brosur obat ini sangat tidak dibenarkan, lho. Bahkan ini tidak termasuk ‘art’ dari seorang dokter yang seharusnya mengedukasi pasiennya dengan memberikan informasi yang dibutuhkan.


Seorang pasien berhak mendapatkan informasi lengkap mengenai diagnosis dan cara menangani penyakitnya. Dengan membuang label pada obat dan merahasiakan ketika ditanya, ini menunjukkan bahwa tenaga medis yang dikunjungi tidak profesional karena tidak ada keterbukaan atau transparansi di dalamnya.


Seorang pasien berhak menolak, menerima, dan memilih. Jika perlu, jangan takut lakukan second opinion saja. Dibolehkannya anak rawat jalan atau istirahat di rumah menunjukkan kondisinya tidak terlalu mengkhawatirkan, jadi, sebagai pasien kita masih bisa mencari dokter yang lain atau second opinion. Bahkan saya pun pernah melakukan ini, mulai dari mendatangi rumah sakit yang paling dekat dengan rumah di Duren Sawit, hingga ke rumah sakit Bunda yang jauhnya minta ampun, sampai ke rumah sakit di Jatinegara, hingga ke rumah sakit Pasar Rebo demi mencari second opinion pada dokter Apin yang saya kenal juga di milis sehat.


Memang ini perjuangan banget. Belum lagi merayu suami supaya nggak mudah percaya pada satu dokter saja, ngajak dia supaya mau nganterin istri dan anaknya ke rumah sakit yang jauhnya nggak ketulungan demi sebuah diagnosis yang sebenarnya sudah diberikan oleh beberapa dokter yang lain. Dan hasilnya, anak saya baik-baik saja meski sebelumnya disebut sakitnya parah, harus infus antibiotik, dan rawat inap. Betapa semua perjuangan itu nggak akan sia-sia, kalimat itu yang pengen saya ucapin ke suami yang akhirnya dia pun sudah mulai paham arah pikiran istrinya…kwkwk.


Browsing dulu sebelum menebus obat

Jika tidak benar-benar paham dan tahu apa kandungan dan manfaat obat yang diresepkan oleh dokter, cobalah browsing lebih dulu. Seperti yang saya sebutkan di awal, kondisi di mana kamu boleh pulang dan istirahat di rumah bukan termasuk kondisi emergency, kok. Jika sakitmu berat, sudah bisa dipastikan kamu harus rawat inap.


Jadi, sebelum menebus obatnya, coba kamu cari tahu dulu indikasi pemberian obat itu, efek samping, cara minum, dan interkasi obat tersebut dengan obat lainnya. Sebab dokter juga manusia, tidak mustahil mereka salah juga, kan?


Tidak ada obat rahasia dalam dunia kedokteran


Pernah nggak sih dapat obat puyer tetapi kita nggak tahu isinya apa saja? Puyer itu obat yang diracik atau dihaluskan dari beberapa jenis obat. Padahal penggunaan puyer ini sebenarnya dilarang, hanya saja di Indonesia masih banyak dipakai.


Ya, semua harus jelas dan transparan. Nggak ada obat rahasia dalam dunia medis, pasien harus tahu dan jangan malu bertanya.


Jika dokternya nggak bisa bijak, sebaiknya kita sebagai konsumen kesehatan nih yang harus bijak supaya anak-anak kita nggak sampai salah menelan obat hanya karena kepanikan orang tuanya yang nggak mau sabar mencari tahu dulu atau second opinion*jleb…hehe.


Waktu si bungsu bolak balik sedot telinga karena otitis media akut, saya hanya menebus beberapa jenis obat saja, seperti obat tetes telinga. Padahal obat yang diresepkan banyak, termasuk antibiotik minum. Dalam kondisi begini, jujur saja capek mau rasional mulu, apalagi si bungsu dikit-dikit pilek dan batuk, pastinya disusul telinganya keluar cairan. Sampai dokternya bilang kalau anak saya anak mahal karena sering banget ke THT dan ngabisin uang banyak…hehe.


Saya juga panik, saya juga takut, saya juga khawatir anak saya kenapa-napa karena telinga termasuk organ penting. Tapi, di sisi lain saya pun masih nggak terima kalau dokter meresepkan obat banyak banget termasuk yang sebenarnya nggak perlu. Memang butuh sabar, butuh kuat, biar kita tetap bijak pakai obat.


Mirisnya, banyak pasien yang nggak paham dan harus ngapain kalau ketemu obat atau sirup obat tanpa label. Banyak juga yang nggak suka second opinion karena dianggap ribet dan merepotkan, ngapain juga, kan sudah ke dokter?


Buat saya pribadi, meski bukan tenaga medis, sebagai konsumen kesehatan kita juga harus belajar sih tentang hal ini supaya tidak terjadi hal yang tidak diinginkan. Dokter juga sama seperti saya dan kamu, manusia juga yang bisa melakukan kesalahan. Dan perlu diingat, tidak semua penyakit selalu butuh obat, ya. Kamu bisa datang ke dokter hanya untuk konsultasi, nggak melulu minta resep obat. Jika kamu menolak karena dianggap nggak perlu, itu bukan kesalahan, sebab pasien pun punya hak untuk menolak. So, jadilah orang tua yang cerdas dan tahu apa yang harus dan tidak harus dilakukan saat anakmu sakit.


Salam,

 

Comments

  1. duh betul juga heu, tapi aku mah anaknya parnoan bun wkwk, jadi ya sakit kudu ke dokter minum obat, padahal sendirinya kalo sakit ngumpet2 biar gak bawa ke dokter wkwk. Makasih bun pencerahannya, jadi paham sekarang hehe.

    ReplyDelete
  2. Jadi ingat bedanya saat ambil obat di ruang obat usai diperiksa dokter. Saat di Makassar, saya sering dipelototi petugas saat bertanya panjang lebar tentang obat yang dikasih dokter. Gak salah, dong. Kita kan harus tahu ini obat apa aja.

    Nah, beda jauh saat di Malaysia, saya yang justru capek dengar penjelasan sang apoteker. Mereka menjelaskannya panjang lebar dan kalau tampang kita ragu, pasti diulangi lagi dari awal. Mereka gak merasa rugi menjelaskan panjang lebar, meski di belakang kita yang antri banyak.

    ReplyDelete
  3. Mungkin tujuan bidannya biar pasien gak ngulang beli obat sembarangan. Di pedesaan, tempat saya kerja dulu, ketika pasien A sakit dan sembuh dg obat merek Z, maka saat ada tetangganya yg sakit mirip dengannya maka disarankan obat tersebut. Beli sendiri di apotek. Hasilnya? Alergi. Hmmm... Yaaa butuh edukasi juga sih. Tak serta merta cabut label

    ReplyDelete
  4. Walah ini biasanya kalo aku berobat ke klinik ga pernah di labelin. Jadi ntahlah itu obat apa. Makanya ak jadi jarang k klinik lg mbak. Hehehe mudah-mudahan sehat terus. Sekarang kalaupun dikasih obat dokter aku pasti baca nama, indikasi dan browsing sih

    ReplyDelete
  5. iyayaya, kalo berkunjung ke dokter pasti obatnya tidak ada merk nya, aneh juga, kadang bingung mau menggunakannya bagaimana, kalau lupa dari arahan dokternya kan bahaya juga

    ReplyDelete
  6. Wah.. saya mah kagq paham soal obat , di kasih ya saua minim, walalu gak tau khasiat nya apa

    ReplyDelete
  7. Betul mbak saya pernah ngalamin...dapat obat yang tidak berlabel.Tanpa saya sadari ternyata MGnya beda, 😱😱

    Harusnya 150MG yang saya dapat 400MG...Yaa!! Efecknya cukup bahaya bagi tubuh sampai mual dan pusing..ditambah obatnya cuma dibungkus plastik bening saja..😄😄

    Jadi seorang pasien berhak menuntut bila mendapatkan obat tanpa label yaa mbak. Ok thanks nih info kesehatannya yang menarik ..👍👍

    ReplyDelete
  8. Saya juga langganan ke dokter pribadi,label obatnya dilepas. Udah ngerasa cocok sama itu dokter. Harusnya memang enggak boleh,ya.

    ReplyDelete
  9. Makasih informasinya mbak, sering juga ngalamin kayak gini, sekarang jadi tau kalo obat tanpa label itu gak boleh

    ReplyDelete
  10. Terimakasih informasinya, saya kudet juga kalau masalah obat-obat ini. Biasanya memang kalau di klinik rujukan BPJS itu dikasih obat yang di plastiki ulang, tapi kita dikasih tahu sama apotekernya ini nama obatnya apa.

    Hanya saja waktu kecil, saya sering itu dikasih puyer dari mantrinya kalau Bapak bawa saya berobat.

    ReplyDelete
  11. Saya termasuk yang sebisa mungkin menghindari obat kimia untuk anak kalo gak terpaksa banget dan itu pun ambil dosis terendah. Duluu pernah diresepin obat puyer untuk saya tanpa label, tapi selama berdasarkan resep dari dokter saya percaya aja hehehe

    ReplyDelete
  12. Saya banget nih, kalau mau nebus obat meski search ke internet dulu. Obatnya berbahan aktif apa dan pas nggak dengan usia. Walau dapat resep dr doket spesialis, tetap aja ada sedikit ketidakpercayaan, hahaha, makanya search dulu

    ReplyDelete
  13. anak saya langganan bidan, dan kalau ngasih obat pasti dalam bentuk bubuk atau puyer. ternyata penggunaanya tidak dibolehkan ya ,,, baru tahu. nice info mbak muyas terimakasih

    ReplyDelete
  14. Miris baca yang keracunan obat mbak ... Saya malahan kalau obatnya dibuang labelnya gak jadi saya minumkan, takut kalah overdosis obat seperti yang Mbak Muyas ceritakan. Apalagi obat untuk anak-anak, sebisa mungkin mengobati mereka dengan yang alami seperti madu atau sari kurma untuk menambah daya tahan tubuh.

    Makasih sharingnya mbak, makin melek sama obat

    ReplyDelete
  15. Wah zaman dlu sering banget dikasih obat, terutama sirup tanpa label. Saya suka heran, kenapa obat dari dokter labelnya suka dicopot.

    Di desa saya pun masih banyak bidan yg ngasih obat penyakit lain. Dan parahnya, masyarakat juga lebih suka ke bidan klo sakit, bukan ke dokter.

    ReplyDelete
  16. alhamdulillah, kalo sekarang udah jarang banget minum obat. karena gak tau kenapa, tiap minum obat berasa masukin racun juga ke tubuh. pengennya yang serba alamiiii. padahal dulu, dehh dehhh dikit-dikit minum obat ini dan itu, sekarang gak mau lagi

    ReplyDelete
  17. Saya juga baru ngalaminnya awal bulan kemarin mbak, pas bayi saya sakit pertama kali. Dikasih antibiotik dan obat puyer tanpa label dari bidan. Nah, karena saya udah paham dengan penggunaan antibiotik dan obat puyer jd saya ngotot sekali tidak mau memberikan obat tidak rasional dari bidan itu ke si kecil. Sayangnya orang rumah termasuk suami nggak ada yang paham. Pokoknya drama banget deh

    ReplyDelete
  18. Wow emang harus teliti dan percaya ya

    ReplyDelete
  19. wah baru tahu juga nih. dulunya mah nggak peduli sama label obat, yang penting dapet dan sembuh. terimakasih informasinya mbak.

    ReplyDelete
  20. ih, jangankan buat anak, buat diri sendiri yang dikasih obat agak ngasal aja aku kesel mbak. pernah kan berobat ke dokter, ditanya sakit apa, ya di semua gejala itu saya dikasih obat. nampak betul nggak pro banget. masalahnya, obatnya langsung tebus di kasir. jadi mau nggak mau beli, cuma nggak pernah saya minum sampai sekarang.

    ReplyDelete
  21. Tulisan yg bagus Mbak. Mengingatkan bahwa sbg konsumen kita mesti cerdas dan jangan cuek utk urusan yang satu ini, karena bisa nyawa taruhannya.

    ReplyDelete
  22. Tulisan yg bagus Mbak Muyass. Mengingatkan sbg konsumen ..kita harus cerdas dan nggak boleh masa bodoh, karena nyawa mjd taruhannya.

    ReplyDelete
  23. Masalah obat aku sangat teliti setelah jadi ibu
    Naluri kali y mb
    Padahal untuk diri sendiri mah sembarangann
    Kalau sekarang peduli sama label is a must mbaa

    ReplyDelete
  24. wah pernah banget dapat obat tanpa label, tapi nggak kepikiran protes. lain kali musti kritis kalo ke faskes. trims infonya mbk

    ReplyDelete