Ciri-Ciri Dokter Anak yang Nempel di Hati

Friday, October 13, 2017

Ciri-Ciri Dokter Anak yang Nempel di Hati
Photo on Unsplash


Halah, judulnya bikin baper aja, yaa..hehe. Saya mau sharing beberapa dokter anak yang menjadi favorit saya selama ini dan alasan kenapa mereka bisa nempel di hati *eaaa

Jujur saja pengalaman saya keluar masuk rumah sakit mulai padat saat kakak masuk sekolah dan adiknya lahir. Dulu, hampir tidak pernah saya membawa ke dokter ketika kakak sakit kecuali memang sangat dibutuhkan. Bukan, bukan karena saya seorang dokter yang bisa mengobati anak sendiri, saya juga bukan pakar herbal yang anti dokter. Saya tidak sering ke dokter karena memang saat itu tidak dibutuhkan.


Misalnya saja ketika kakak kena HFMD atau flu singapura, saya tetap di rumah dan memberikannya lebih banyak cairan, makanan lembut dan dingin seperti pudding sebab saat HFMD, hal paling menyakitkan adalah sariawan di seluruh rongga mulutnya. Selama ini saya tahu kalau HFMD sebabnya hanyalah virus, jadi tidak perlu obat macam-macam kecuali penurun panas untuk meredakan demam dan mengurangi rasa sakit.


Atau ketika si sulung kena Roseola, biasanya ditandai dengan demam tinggi selama hampir 72 jam. Bahkan mepet sampai 72 jam. Ketika saya berniat membawanya ke dokter (karena memang Roseola ini nggak pakai gejala lain), biasanya suhu tubuhnya berangsur normal dan keluarlah bintik-bintik merah di sekujur tubuhnya terutama di punggung. Fix, ya itu Roseola dan anak-anak pun akan membaik setelahnya. Roseola penyebabnya juga virus, jadi nggak perlu obat macam-macam selain penurun panas.


Dan beberapa kejadian yang membuat saya terpaksa ke dokter misalnya ketika kakak pertama kali kejang demam, setelahnya saya tidak pernah membawanya ke dokter meski dia kejang demam lagi, terakhir saat usianya 6 tahun kemarin. Karena apa? Karena saya pribadi sudah tahu gejala dan tanda darurat kapan harus ke dokter. Dan kondisi kakak alhamdulillah selalu membaik meski sebelumnya sempat kejang demam.


Saya juga terpaksa membawanya ke dokter saat dia terkena DBD, saya masih ingat, di depan kamar sebelum dia dipasang infus, saya menangis seperti anak kecil kehilangan balon. Hampir setiap hari saya menangis, saya takut dan entahlah meski mulut dipenuhi doa-doa, mata tak pernah kering. Selalu saja diliputi rasa takut, padahal menurut dokter, perkembangan kakak lumayan bagus dan cepat pulihnya. Sayangnya saya tetaplah emak-emak yang cengeng…he. Jadi, kesimpulannya, saya meski jarang ke dokter, bukan berarti se-setrong yang orang katakan. Saya ya sama aja kayak emak lainnya bahkan jauh lebih cengeng!


Saat itu saya pun ingat, dokter anak yang menangani si kakak sebenarnya bukan dokter yang RUM atau rational use of medicine. Tapi karena sejak awal saya sudah bilang bla, bla, maka saat dirawat, kakak hanya diberi obat penurun demam kalau masih demam dan cairan infus. Tidak ada vitamin, AB apalagi. Yang pernah saya komplain saat itu adalah penurun demam yang mengandung ibuprofen. Setahu saya, anak dengan DBD sangat tidak disarankan memakai penurun demam jenis ini. Karena bisa meningkatkan risiko perdarahan pada lambung (cmiiw). Tapi dokter itu tidak marah saat saya protes dan menggantinya dengan penurun demam yang mengandung paracetamol. Itu baru benar. Sok bangetkan sayah? He..


Entahlah, yang jelas saya hanya sedang melakukan apa yang saya yakini. Saya tidak sembarangan menolak ini dan itu. Saya membaca dulu, cek sana sini, konsultasi dulu dengan dokter di milis sehat bahkan saya jauh-jauh mencari dokter yang RUM hanya demi sebuah diagnosa.


Dan sejak beberapa tahun terakhir, saya bertemu beberapa dokter yang bagi saya mereka cukup bisa diandalkan.

 

1.      Dokter Arifianto atau dokter Apin. Beliau adalah seorang dokter spesialis anak yang praktik di rumah sakit Pasar Rebo, Markas Sehat, di kediamannya dan juga seorang penulis buku. Selain sangat RUM, beliau juga super duper ramah dan santai pada saatnya dan serius pada waktunya…he. Beliau juga menulis di blog A Doctor’s Journal.

2.      Dokter Herbowo yang praktik di rumah sakit Hermina Jatinegara dan entahlah di mana lagi. Yang jelas saya bertemu beliau saat di rumah sakit Hermina Jatinegara. Dokter Herbowo ini lebih ngartis gitu kali, ya. Beliau juga orangnya santai meski buat saya tidak terlalu RUM juga tapi ketimbang yang lainnya, beliau bisa jadi pilihan. Insya Allah, masih aman yaa…he.

3.      Dokter Mata Flourence yang praktik di Jakarta Eye Center. Beliau adalah dokter paling menyenangkan yang pernah saya temui, tegas tapi masih suka bercanda. Beliau ‘Cerdas’ luar biasa. Sangat teliti saat mengobati mata anak, maka nggak heranlah ya dia memang ahli di situ..he.

4.      Dokter Idham Amir di rumah sakit Hermina Jatinegara, beliau kalau tidak salah juga merupakan tim dokter spesialis anak dari keluarga pak SBY. Beliau ini senior dan orangnya galak banget. Tapi saat bertemu saya beliau baik, kok…hehe.  Dan beliau ini ahlinya soal bayi-bayi merah yang baru lahir. Pengalaman saat konsultasi dengan beliau, cukup memuaskan, kurang RUM tapi masih enak diajak diskusi.


Saya termasuk yang sangat pemilih ketika mencari dokter karena ini benar-benar sangat menentukan. Anak saya akan mendapatkan obat apa, perawatan bagaimana? Semua sangat tergantung dari dokter yang saya pilih. Apalagi kalau ternyata saya kurang menguasai ilmunya seperti misalnya saat si adik kena otitis media, ini benar-benar pengalaman baru dan saya harus bolak balik masuk website AAP dan Kids Health untuk tahu lebih banyak karena sebelum penyakit ini ketahuan, dokter-dokter lain sudah mendiagnosa macam-macam seperti TB. Padahal anak kecil tentu hanya bisa terkena jika ada yang menularkan. Sedangkan yang bisa menularkan TB hanyalah orang dewasa. Dan kenyataannya selama ini, hanya saya dan ayahnya yang merawatnya di rumah. Tidak ada kontak langsung dengan penderita TB selama minimal 6 bulanan. Jadi kecurigaan semacam itu sangat fatal.


Adik juga sempat disarankan dirawat karena dia memang demam hampir sebulan penuh setiap jam 2 malam, suhunya bisa mencapai 39,6’C. Dan entah bagaimana dulu saya bisa menjaganya sendiri, bahkan sekarang pun saya takut membayangkannya.


Alhamdulillah, semua bisa dilewati meski masih banyak khilaf di sana sini. Saya percaya, belajar itu tentu nggak boleh nunggu anak sakit. Karena kalau begitu isinya hanya panik dan panik! Tapi bukan berarti kita juga ingin anak sakit. Tentu saja bersiap payung sebelum hujan akan menjadi jauh lebih baik ketimbang buru-buru berhenti dan berteduh di tengah jalan.


Beberapa teman atau sahabat selalu panik ketika anaknya sakit, padahal buku bahkan beberapa artikel kesehatan dari web shahih sering saya kirimkan. Tapi sampai di situ saya tidak pernah keberatan jika memang mereka bertanya, hanya saja saya menyayangkan kenapa ilmu sebanyak itu tidak pernah dibaca. Bukankah semua memang demi anak sendiri bukan anak orang lain?


Ketika ditanya, bagaimana nih anakku? Menurut kamu nggak masalah? Saya akan tanya balik, terus menurut kamu sebagai ibunya gimana? Kalau saya bahkan tidak bisa melihat langsung kondisi anaknya, klinisnya seperti apa, tapi saya informasikan apa itu tanda gawat darurat, kapan harus ke dokter, apa yang wajib dilakukan saat anak diare atau demam sesuai dengan petunjuk resmi dari badan kesehatan dunia. Kalau ditanya seperti itu saya jadi baper, memangnya ibunya siapa, sih? ^^


Jujur saja saya takut ketika terjadi apa-apa malah saya yang disalahkan, misalnya saja ketika ada yang bilang, “Dokternya lebay, ya. Padahal anakku nggak panas waktu kejang kemarin. Tapi udah disuruh EEG.”


Saya sempat terkejut, bukankah yang tidak masalah memang kejang demam? Kalau kejang tanpa demam memang perlu observasi lebih lanjut. Kejang demam pun juga harus dicocokkan tanda-tandanya masuk kejang demam apa. Dan banyak sekali kejadian yang menurut saya bikin kaget dan WOW! Hehe. Siapa saja boleh bertanya kepada saya, bahkan saat mereka panik-paniknya, bahkan saat anak saya pun sedang sakit juga, insya Allah saya akan membantu sebisa saya. Tapi untuk keputusan, semua selalu di tangan orang tua. Benar, kan?


Dan hal menentukan berikutnya dari bijak menggunakan obat adalah menemukan dokter yang RUM. Kalau sudah dapat, plis pegang tangannya dan jangan lepaskan *eist dah…hehe.


Karena dokter yang seperti itu susah sekali dicari. Dari sekian jarak dan rumah sakit yang saya kunjungi, hanya satu dua yang klik di hati. Lalu dokter seperti apa sih yang nempel di hati saya? ^^


1.      Enak diajak diskusi. Ke dokterkan memang perlu diskusi. Kalau baru masuk ruang dokter saja sudah dingin dan angker, gimana mau mulai bertanya. Ah, jadi kayak nonton film horor aja, kan? Apalagi yang ketika ditanya malah nyuruh kita kuliah kedokteran…hoho. Ini memang nyata ada, lho. Jadi, kriteria pertama pastilah mau diajak diskusi.

2.      Mengedukasi. Kalau sudah enak diajak diskusi, dokter sebaiknya juga pandai mengedukasi pasiennya supaya pasiennya nggak gampang pakai AB misalnya, supaya pasiennya tahu kapan harus rawat inap dan banyak contoh lainnya.

3.      Bijak menggunakan obat. Dokter yang nggak suka ngumbar resep kecuali saat memang sangat dibutuhkan. Benarkan? Pernah nggak pulang dari dokter hanya karena anak kita demam dan batuk, dibekalin obat satu kantong plastik? Horor banget tuh dokter! Padahal kita sakit aja nggak perlu terlalu banyak obat, gimana bisa yang kecil bisa lebih banyak obatnya?

4.      Ramah dan murah senyum. Wajiblah dokter anak itu ramah dan murah senyum. Kalau nggak pastilah bikin anak kita jadi teriak-teriak dan ngajakin pulang..he. Mau periksa aja udah horor. Apalagi kalau lihat dokternya serem?

5.      Nggak main keroyokan. Dokter yang santai dan professional tentu nggak main keroyokan saat memeriksa pasien terutama anak-anak. Mereka cukup butuh bantuan satu perawat dan orang tua. Itu udah maksimal banget. Pengalaman banget saat adik matanya kemasukan pasir, dia harus dipegang beberapa dokter praktek dan suster, dia menjerit ketakutan dan yang itu harus terjadi berulang kali. Jadi kebayang traumanya. Tapi saat sampai di JEC, setiap ruang dokter hanya ada satu perawat. Kita sebagai orang tua diminta santai dan bekerja sama dengan baik, cukup kami bertiga dan dokter dengan nyaman melakukan tindakan. Meski begitu, dokter yang sempat menangani adik berkali-kali minta maaf karena pemandangan itu agak seram dan mungkin terlihat menyakitkan. Tapi it’s oke, semua akan baik-baik saja. Sopan sekali, dan beliau adalah dokter Ginting yang praktik di JEC ^^

6.      Nggak horor. Jangan sampai ketemu dokter yang suka nakut-nakutin, yaa..hihi. Nggak tahan kalau udah panik karena anak sakit, masih disuguhin informasi horor yang bikin orang tua rasanya tercekik. Aih, saya sudah berkali-kali ngalamin…hihi.


Karena sudah terlalu panjang, maka saya harus menutupnya. Jangan sampai yang baca jadi kelaparan juga…he. Yuk, Bu, pandai-pandailah memilih dokter anak, demi mereka, hanya demi anak-anak kita. Kita tidak sedang ingin membuat mereka sehat dalam waktu sebentar. Tapi mau mereka sehat dalam jangka waktu yang panjang. Insya Allah, anak-anak selalu sehat…Amiin.


Comments

  1. Anak2 saya sejak kecil kebetulan kalau timbang BB dan imun di Markas Sehat mbk. DUlu kami tinggal tinggal di Pasar Minggu yg gak jauh dr sana. Pernah sama dokter Apin jg. Tapi, dari semua dokter di sana, favorit saya dr. Wati. Meski "omelannya" cukup pedas buat ortu kyk kami, tapi alhamdulillah semua nasihatnya berguna dan kesimpen sampai skrng kalau menghadapi anak sakit hehehe :D

    Tapi meskipun ketemu dokter yg gak RUM ya gpp, yg penting ortunya banyak baca dan tahu apa yg harus dilakukan saat berhadapan dengan dokter sih, sebab gak semua RS/ dokter menganut RUM... #imho

    ReplyDelete
  2. dokter anakku dokter Margareta di RSPP juga oke Mbak..kalau ngasih obat pelit banget kwkwk..eh, la anakky kepegang dia kok ya baikan pasti. Dia ramah, banyak ngomong jelasin ini itu pokoknya t o p deh..

    *Seneng baca tulisan seperti ini..biar ortu nggak lekas kuatir..bentar-bentar ke dokter padahal belum perlu

    ReplyDelete
  3. Kerreen ilmunya mbak muyyasaroh... Pengen ih banyak nanya. Alhamdulillah selama ini sehat semua... Nikmat yang luar biasa buat saya

    ReplyDelete
  4. Saya juga sebenarnya pengen banget ketemu dokter wati, tapi suami nolak klw harus ke markas sehat karena jauh banget. jadi ya cuma nanya2 di milis aja. Benar kok mbak, kita memang tidak setiap saat ketemu dokter RUM, maka belajar dan banyak baca jadi sesuatu yang amat penting. Selama ini yang dekat kebanyakan memang nggak RUM sih..hehe.

    ReplyDelete
  5. Senang ya mbak kalau dapat dokter yang klik di hati, mau konsultasi nggak perlu stress dualuan...hehe. Makasih mbak Dian...^^

    ReplyDelete
  6. Makasih mbak, masih belajar. Tuh di atas ada pasiennya dokter wati. Bukunya dokter wati ini nih yang saya bawa ke mana2, saya tenteng ke dokter, saya baca sejak hamil dan sampai sekarang masih saya simpan baik2...

    ReplyDelete