Cerbung Tentang Kita Bag 5; Pertemuan

Wednesday, October 18, 2017

Cerbung Tentang Kita Bag 5; Pertemuan
Photo by Ian Schneider on Unsplash


(Raina)

Daun itu berguguran dengan gemulai

Gemerisiknya menyentuh permukaan tanah

Sedikit menyembunyikan gemuruh di hati

Entah, apakah ini?


Pagi ini aku harus bergegas pergi mengajar di salah satu wilayah kumuh di daerah Klender. Tepatnya di kawasan pabrik Pulo Gadung. Sekilas kulihat mas Bagas sedang berada di halaman rumahnya. Sebelum berangkat aku sempat menangkap tatapan mas Bagas ke arahku. Sayangnya, ketika aku tersenyum, dia justru melengos dan seolah sibuk sendiri. Apakah dia marah atas perlakuanku kemarin?


Rasanya, seperti sedang disayat sembilu. Hati terasa ngilu dan pikiran berkelana entah kemana membuat aku sedikit banyak sudah mulai berpikir bahwa sebenarnya dia tak pernah benar-benar ingin menikahiku.


Mas Bagas bukan orang biasa. Dia adalah lelaki cerdas dan tentu saja tampan dibandingkan dengan bang Rio-ku. Menurut bang Rio, mas Bagas termasuk salah satu mahasiswa terbaik di kampusnya. Sedangkan bang Rio, bisa ditebaklah ya, dia tentu berada di bawah rata-rata.


Tapi jangan sampai bang Rio mendengarnya, sebab tentu saja dia akan melotot dan kedua bola matanya bisa keluar sebab adik satu-satunya telah meledeknya habis-habisan.


Aku melanjutkan perjalanan dengan sebuah ojek online yang kupesan lima belas menit lalu. Melintasi lalu lalang kendaraan bermotor. Asap knalpot membubung tinggi hingga membuat udara terasa sangat pengap. Perjalananku menuju tempat mengajar lumayan jauh. Di sana, aku tidak sendirian. Ada beberapa orang sahabat dekat yang ternyata setuju untuk meluangkan waktu bersama mengajari anak-anak di sekitar kawasan pabrik ini.


Aku turun dari ojek dan disambut anak-anak yang riuh menanti. Di sana, sudah ada Leni dan Amir. Mereka berdua sudah datang lebih dulu. Hm, sebelum melanjutkan ceritaku di sini, aku ingin mengenalkan mereka berdua. Pasangan yang menikah muda. Mereka menikah segera setelah kuliah selesai setahun lalu. Pernikahan yang bagi kami sebagai teman cukup mengagetkan sebab sebelumnya di antara mereka berdua tidak pernah terlihat saling akrab apalagi sampai jalan berdua. Eh, tiba-tiba saja menikah dan sekarang mereka kelihatan fine dan bahagia menjalani rumah tangga.


Aku jadi ingat mas Bagas. Sebenarnya alasan kemarin tidak cukup masuk akal untuk menolak lamarannya. Sayangnya, aku belum juga merasa klik dengan mas Bagas karena perkenalan kami yang cukup singkat.


Mas Bagas adalah orang yang baru kukenal. Tidak berharap yang muluk-muluk, sebab pacaran pun tidak dibenarkan dalam islam. Aku hanya butuh yakin dengan perasaan, benarkah dia yang pada akhirnya akan menjadi ayah dari anak-anakku? Jangan sampai setelah menerima lamaran yang terkesan buru-buru itu, hati tiba-tiba saja bimbang dan lebih buruknya jika sampai mengharapkan yang lain.


Sayangnya, semakin ke sini, perasaan itu semakin tumbuh subur meski tanpa pupuk dan disiram. Setiap kali lewat di depan rumah mas Bagas, aku selalu berharap bisa melihat dan bertegur sapa dengannya. Meski tak selalu terjadi, harapan seperti itu semakin kuat dan sangat mengganggu.


“Raina! Ngelamun aja!” Leni sudah menepuk bahu dan mengajakku berbaur dengan anak-anak.


Benar kata Leni, aku sudah melamun. Dan sangat berdosa saat aku membayangkan tetangga dekatku yang sebenarnya masih bukan siapa-siapa, astagfirullah.


***


(Bagas)

 

Rio mengajak saya ikut dan melihat langsung kegiatan Raina selama mengajar. Adik Rio itu mungkin akan sangat terkejut saat tiba-tiba saya datang dan menjemputnya pulang. Entahlah, jujur saja saya terlalu senang setiap kali akan bertemu Raina. Perasaan yang aneh dan muncul saat tanpa sengaja sekelebat bayangan Raina mencuri perhatian.


Melamun di UGD saat ramai pasien tentu bukan hal wajar yang selama bertahun-tahun tidak pernah saya lakukan. Tapi kemarin malam saya sempat terjebak oleh kejadian semacam itu dan sungguh sangat memalukan.


Rio menertawakan saya. Berbisik dan meledek. Saya hanya beristigfar. Kenapa begitu sulit membuang wajah Raina dari dalam ingatan sedangkan intensitas pertemuan kami saja sangat jarang.


Saya benar-benar tidak menyangka akan jatuh hati pada gadis manis berlesung pipit itu. Dia benar-benar mengambil separuh dari kehidupan saya. Merusak semua konsentrasi dan lebih parahnya gadis itu juga yang menolak pinangan saya kemarin.


Rio bilang, mungkin hanya butuh sedikit saja perjuangan untuk menaklukkan hati Raina. Adik bungsu Rio itu memang anaknya pendiam dan jarang sekali punya teman lelaki. Bersyukur, mungkin dia tidak jauh berbeda dengan saya.


Tapi, sungguh ada sesuatu yang mengganjal dalam hati saya. Jika saja Raina memutuskan untuk menerima pinangan saya nanti, tentu saja dia harus menyiapkan diri untuk sesuatu yang sama sekali tidak diketahui oleh orang banyak tentang dokter Permadi. Iya, masa lalu dokter Bagas Permadi. Bahkan, kepada teman dekat saja saya tak pernah membuka rahasia ini. Tapi Raina, dia adalah orang kedua yang berhak tahu selain orang tua tentang kehidupan saya dulu. Tentang pahit dan gelapnya. Tentang sesuatu yang mungkin saja membuat Raina pada akhirnya berpaling dan memilih melupakan saya.


***


Saya baru saja turun dari mobil ketika tanpa sengaja melihat Raina sedang tertawa lepas bersama beberapa anak kecil berusia 7 tahunan. Gadis itu memang luar biasa. Bukan gadis biasa yang pernah dan sering saya lihat. Hampir tidak ada yang menyamai bagaimana dia bisa menerjemahkan kebahagiaan bukan hanya dengan materi.


Pemukiman kumuh ini sungguh tidak nyaman. Hanya ada rumah-rumah yang dibangun seadanya dengan dinding triplek dan seng. Banyak orang menatap sinis ke arah kami. Entah apa yang sedang mereka pikirkan.


Dan Raina seperti sama sekali tidak terganggu dengan keadaan seburuk ini. Gadis ini punya rumah mewah dan menjulang. Mustahil sekali melihat dia merasa biasa saja di tempat sekumuh dan kotor ini. Hanya ada tumpukan barang bekas di sisi kanan dan kiri. Gerobak lusuh dengan debu menebal. Jalanan tanpa aspal dan keadaan penduduknya yang jauh dari kesan ramah. Gadis ini benar-benar membuat saya merasa heran.


            Raina, jika saja saya boleh tahu, alasan apa yang membuat dia mau berlama-lama bersama anak-anak itu? Mungkin suatu saat saya bisa menanyakannya langsung. Sekarang, bukan waktu yang tepat untuk bicara padanya.


Rio menyapa Raina dan menarik lengan adiknya. Mereka segera pamit dan meninggalkan anak-anak. Di depan mobil, saya menunggu ekspresi Raina berikutnya ketika bertemu saya. Tapi, dalam gemuruh yang tak karuan, Raina justru berbalik dan kembali meninggalkan Rio yang mematung dan manyun.


Ada gadis kecil menangis. Tangisnya melengking memecah kegaduhan kampung. Gadis dengan rambut dikuncir dua, pakaiannnya tidak rapi dan terlihat lusuh. Dia terlihat kesakitan sambil memegang lutut.


“Ada apa?” Raina mendekati


“Dia jatuh dan kakinya lecet.” Teriak temannya yang lain.


Raina menarik anak itu dan segera memeriksa kedua lututnya yang tampak berdarah. Dengan cekatan dia mengeluarkan obat merah dan segera menutup luka hingga tangis itu reda.


“Rai! Udah tinggal aja, nanti ibunya juga datang. Ayo cepat pulang!” Teriak Rio sekali lagi dengan wajah kesal.


Gadis kecil dengan kulit kecokelatan itu pun akhirnya melambaikan tangan setelah sebelumnya berterima kasih pada gurunya, Raina.


“Kamu itu, ngapain sih sibuk banget ngurusin anak-anak. Mereka juga punya orang tua. Jadi nggak usah dibuat repot.” Rio ngomel.


Saya tersenyum dari jauh dan melihat Raina sedang mencubit lengan abangnya kesal.


“Bang Rio kan dokter, kenapa sih malas banget bantuin orang lain!” Pekiknya dengan wajah lucu. Saya tersenyum, dan ketika itulah, tanpa saya sadari ternyata Raina sedang menatap dan terkesiap melihat kedatangan saya.


“Maaf,” ucap saya kemudian. Segera membuka pintu mobil dan mempersilakannya masuk. Rio hanya tertawa di belakang saya sambil menepuk bahu saya. Senang dan meledek habis-habisan.


Allah, sepertinya saya sudah salah karena telah menerima ajakan Rio.


***


(Raina)

 

            Astagfirullah. Bang Rio tega sekali mengajak mas Bagas ikut menjemputku di daerah Pulo Gadung. Teganya! Ingin sekali rasanya berteriak dan memaki, sayangnya aku bukan orang yang senorak itu apalagi ketika di depan mas Bagas. Aku berusaha tenang dan pura-pura biasa saja ketika tanpa sengaja melihat dia menertawakan aku dan bang Rio barusan.


            Setelah masuk mobil, aku diam mematung meski bang Rio sejak tadi meledek kami berdua. Hatiku tidak bisa diajak kompromi. Dia melompat-lompat seperti seekor kodok yang kegirangan saat menemukan hujan. Tanganku tiba-tiba saja dingin dan nyaris membeku. Semoga saja aku tidak sampai pingsan hanya gara-gara bang Rio mengajak mas Bagas.


            Abangku itu benar-benar keterlaluan. Pantas saja, tumben-tumbenan dia menawariku tumpangan. Katanya kebetulan saja dia lewat daerah itu. Jadi, sekalian saja menjemput supaya adik kesayangannya ini tidak perlu kepanasan dan sampai kering hanya karena menunggu ojek datang.


            Aku menatap gerakan mobil yang melesat cepat membelah jalanan ibu kota yang ramai. Di kota semegah Jakarta, ternyata bukan hanya kemewahan yang ada. Tapi, banyak sekali kemalangan yang menimpa terutama bagi anak-anak. Saat melintasi jalan raya, sempat kulihat beberapa anak kecil menawarkan dagangan di tangannya. Ada yang menawarkan kacang telur, ada juga penjual tisu. Mereka seperti tidak kenal lelah meski kulitnya saja sudah sangat gelap terpanggang matahari. Kira-kira apa ya  mimpi mereka jika saja menjadi anak yang lebih beruntung ketimbang saat ini?


            “Rai!” Suara bang Rio mengagetkan.


            Aku terperanjat dan menjawab seadanya. Kulihat mas Bagas tetap berkonsentrasi mengendarai mobil berwarna merah miliknya. Sama sekali tidak menyapaku apalagi bertanya kabar. Ya, tentu saja dia tahu kalau aku baik-baik saja. Lalu kenapa juga aku mengharapkannya bicara jika sebenarnya aku juga tidak terlalu peduli dengannya. Ingat, Rai. Kamu tidak peduli pada mas Bagas jadi jangan menunggu dia bicara. Aku menekan kalimat itu berkali-kali hingga tanpa kusadari, sebuah tanya terlontar darinya.


            “Apa yang membuatmu betah mengajar di sana, Rai?”


            Aku memasang telinga. Benarkah itu mas Bagas yang bertanya? Bukan bang Rio yang menyebalkan itu? Astagfirullah. Tiba-tiba saja lidah kelu.


            Aku ingin segera menjawab, tapi khawatir suara jadi bergetar karena gugup atau malah sesak napas. Bang Rio sudah menarik napas, siap meledekku untuk kesekian kalinya. Tapi, aku tentu tak mau ditertawakan terus menerus oleh abangku itu.


            “Raina suka dan kasihan karena hampir semua dari mereka tidak bisa sekolah.”


            Mas Bagas mengangguk dan kulihat dari spion tengah dia tersenyum. Pemandangan yang jarang sekali kulihat sejak kenal dengannya. Senyum itu memang tidak sembarangan dia umbar. Meski ramah, tapi bukan senyum sehangat itu yang biasa dia berikan pada orang lain. Ah, aku jadi merasa bersalah karena terlalu melebih-lebihkan. Padahal mas Bagas tentu selalu tersenyum semanis itu pada siapa saja.


            “Kalian berdua ngobrol aja, biar bang Rio jadi obat nyamuk.” Katanya meledek. Ingin sekali kutimpuk wajahnya dengan ranselku. Kalau bukan karena ada mas Bagas, pastilah kami berdua sudah ribut.


            “Raina itu orangnya nggak sekalem yang kamu bayangin, Gas!” Tiba-tiba bang Rio nyeletuk seperti itu.


            Astgafirullah. Aku hanya mengelus dada. Setelah ini aib apalagi yang akan bang Rio buka. Aku memang tidak semanis itu ketika bersama bang Rio. Bang Rio itukan super menyebalkan dan sangat menjengkelkan. Jadi, pantaslah bila setiap hari aku selalu melakukan perlawanan. Lihat saja tingkahnya, selalu berusaha meledek dan membuatku malu. Kadang aku kesal sekali ketika melihat bang Rio seusil itu. Padahal, teman-temanku yang lain punya kakak cowok yang perhatian dan baik sekali. Sayangnya, bang Rio tidak bisa disulap sesempurna itu.


            “Abang ini ganteng dan baik hati. Coba aja, teman-teman kamu banyak yang minta kenalan sama abang!” Katanya suatu kali saat aku bilang kesal sekali dengan sifatnya.


            “Mereka mau kenalan karena memang sudah tidak ada pilihan. Bukan karena bang Rio tampan dan sebaik malaikat.” Aku protes.


            “Raina, Raina. Jadi adik kok tidak pernah bersyukur sama Allah.”


            Kalau sudah begitu aku diam dan malas bicara. Ucapannya meski sedikit slengekan tapi memang ada benarnya juga. Harusnya aku lebih banyak bersyukur karena sudah Allah beri kakak yang manis dan baik hati sampe saking manisnya membuatku jadi diabetes dibuatnya. Ah, kesal sekali setiap kali mengingat bang Rio.


            “Raina itu orangnya galak,” lanjut bang Rio membuat mas Bagas menahan senyum.


            Aku masih diam karena tidak mau dianggap galak oleh mas Bagas. Jangan sampai mahasiswa kedokteran yang sedang mengambil spesialis jantung ini berubah pandangan ketika bertemu denganku. Bisa dibayangkan kalau Raina dalam versi galaknya? Aku ingin menangis dan berharap mobil merah ini segera berhenti di depan rumah atau bang Rio akan semakin banyak lagi membongkar aibku sendiri.


            “O ya, dan satu lagi, Gas! Raina juga nanyain, apa kamu serius mau nikahin dia?”


            DEG!!


            Pertanyaan yang sungguh slengekan dan membuat jantungku terasa berhenti. Aku melihat mas Bagas menatapku dari kaca spion tengah. Dan dengan sedikit anggukan, dia menjawab semuanya.


***


Comments