Dear Husband

Thursday, September 7, 2017

Dear Husband
Photo on Unsplash


Rumah tangga itu berisi dua hal,

Kekuranganku dan kekuranganmu.

Lalu sama-sama kita memperbaiki dan menyempurnakan.

Jika aku salah, maafkanlah. Sebab kamu pun tak selalu benar.

Jika aku marah, maka redamlah, sebab kamu pun bukan mustahil melakukannya.

Jika kita mulai tak sejalan, maka kembalilah.

Sebab, rumah tangga itu telah kita bangun, ada janji serta cinta

Yang mungkin tertutup oleh benci yang sementara.

Dear Husband…

Dengan wajah cemas, lelaki berkemeja rapi itu segera membuka pintu mobil, bergegas mencari dompetnya yang hilang. Entah di mana terakhir kali dia meletakkannya. Di meja kerja, hanya ada setumpuk lembaran tugas yang sudah diselesaikannya. Di kolong meja, sama sekali tak terlihat apa pun kecuali sebuah mobil-mobilan berwarna merah milik Arka yang semalam dimainkan ketika ayahnya sibuk bekerja.


Tapi, lelaki dengan wajah kesal itu mencium aroma wangi lantai. Lantai yang semalam sempat kotor terkena tumpahan susu Arka kini sudah bersih bahkan mengkilat. Lelaki itu, dengan tergesa setengah berlari menuju dapur, mencari istrinya.


“Mas nyari dompet, nih!”


Ningrum setengah kaget melihat Hafiz sudah berdiri di depan pintu dapur. Dia tersenyum dan segera menggamit lengan Hafiz.


“Sudah dicari belum, Mas? Di meja mungkin, atau di atas lemari mungkin.”


“Kamu kan yang beres-beres. Seharusnya kamu tahukan di mana tempatnya. Ini lantai juga sudah dipel. Mungkin tadi jatuh di lantai, Mas pikir kamu yang membereskannya.”


Ningrum menarik napas, berusaha membantu tanpa merasa harus mengeluh apalagi menyalahkan. Mungkin suaminya lupa di mana dia terakhir kali menaruh dompetnya. Sayangnya, meski sejak pagi-pagi dia sudah membereskan rumah, tapi sama sekali tak terlihat dompet kulit berwarna hitam itu ada di sekitarnya. Ke mana, ya?


Sedangkan hafiz sudah habis kesabarannya. Dia sudah terlambat sepuluh menit dari jadwal berangkat ke kantor. Bisa-bisa dia terlambat tiba di sana. Sedangkan pagi-pagi ada rapat juga. Hafiz mengepalkan tangan. Ingin marah tapi tak tahu harus melampiaskan ke mana.


“Lain kali hati-hati saat menyimpan barang, Mas.” Ningrum setengah berjongkok, masih mencari di bawah kolong ranjang jati milik mereka.


“Harusnya kamu yang barhati-hati saat membereskan barang. Kan kamu yang sehari-hari membereskan rumah. Mungkin aja kamu lupa naruh ketika lihat dompet mas tergeletak di meja.” Hafiz berdiri sambil setengah berteriak. Benar-benar hari yang menyebalkan, pikirnya.


“Insya Allah Ningrum tidak lupa naruhnya, Mas. Karena memang Ningrum tidak menemukan dompet itu.”


Bahkan sejak mereka menikah, bisa dihitung berapa kali wanita berjilbab lebar itu menyentuh dompet milik suaminya. Dia sama sekali tidak merasa membereskan, apalagi mengambil tanpa izin.


Tapi Hafiz sudah benar-benar marah. Arka yang masih lima tahun pun akhirnya terbangun ketika mendengar suara ribut di dalam kamar orang tuanya. Anak itu segera berlari dan memeluk Ningrum. Memerhatikan wajah ayahnya yang merah padam.


Pagi yang mulai menghangat ketika Hafiz memutuskan untuk segera berangkat tanpa membawa dompet.  Seharusnya bukan masalah, sebab bensin mobilnya pun masih terisi penuh. Dia juga tidak buru-buru butuh uang, sebab makan siang disediakan oleh kantornya di kantin. Ningrum bisa mencarinya lagi nanti. Sayangnya, dia terlanjur marah dan sempat membentak istrinya. Katanya istrinya pelupa, banyak barang yang akhirnya hilang gara-gara Ningrum membereskan rumah.


Hafiz kesal, kenapa kejadian seburuk itu harus terulang lagi. Sebelumnya hafiz juga pernah kehilangan dompet. Sayangnya setelah memarahi Ningrum, dia justru menahan malu sebab ternyata dompetnya tertinggal di mobil saat dia membeli bensin. Pernah juga dia lupa meletakkan dompetnya di dalam tas setelah sempat mengambil beberapa lembar lima puluhan untuk membayar sepiring nasi goreng yang dipesannya.


Ah, tiba-tiba lelaki tiga puluh tahun itu ingat sesuatu. Apa mungkin dompetnya ada di dalam ransel bersama tumpukan kertas yang semalam dia bereskan dan buru-buru dibawa ke kantor hari ini?


Hafiz menghentikan laju mobilnya. Dia menepi sebentar hanya untuk memastikan bahwa dompetnya hilang di rumah atau hanya terselip di tempat lain.


Astagfirullah. Lelaki berhidung mancung itu kemudian menarik nafas. Dompetnya terselip di antara kertas dan laptop. Semalam dia buru-buru membereskan meja ketika Arka datang dan mengajaknya bermain.


Hafiz menatap kaca mobil. Sedang apa Ningrum di rumah? Apakah dia masih sibuk mencari dompetnya?


***


Ningrum kembali mencari dompet suaminya di tempat lain setelah sebelumnya dia memeriksa kamar. Sayangnya tidak ada dompet kulit kesayangan suaminya di mana pun. Mungkin Ningrum harus mencarinya lagi, sebab benda itu sangatlah berharga. Di dalamnya mungkin tidak terselip banyak uang, tapi kartu ATM dan KTP serta SIM akan sangat dibutuhkan dan bisa saja suaminya akan mendapatkan kesulitan ketika benda itu hilang.


Arka mendekati ibunya, “Nyari apa sih, Mi?”


“Umi sedang mencari dompet Abi yang hilang. Arka lihat tidak?” Ningrum setengah berjongkok ketika bertanya pada buah hatinya.


Arka menggeleng, “Lalu kenapa Abi marah sama Umi?” Kedua bola matanya membulat.


Ningrum mengangkat kedua alisnya, lalu segera menggeleng, “Abi tidak marah, Nak. Abi cuma mau Umi mencarinya. Itu saja.”


Tapi, anak laki-laki berkulit putih itu masih tak percaya dengan jawaban ibunya. Kedua telinganya masih jeli mendengar ucapan ayahnya pada Ningrum. Dia membentak dan bilang kalau Ningrum adalah perempuan yang tidak becus mengurus rumah. Masa dompet saja bisa hilang?


“Tapi Abi tadi marah-marah, Mi.” Ucapnya lalu memeluk ibunya.


Allah, rasanya Ningrum ingin sekali menangis ketika pelukan hangat itu menyentuh tubuhnya. Hafiz memang marah padanya, tapi bagi Ningrum itu bukan masalah. Mungkin lelaki yang telah menikahinya hampir sepuluh tahun itu khilaf dan lupa. Hafiz jelas akan terlambat hanya gara-gara sebuah dompet. Dan Ningrum sama sekali tidak bisa membantu menemukannya. Ningrum merasa semua itu sangat wajar terjadi.


“Mi, boleh Arka bantu?”


Ningrum mengangguk sambil menyembunyikan titik bening di kedua sudut matanya.


***


Hafiz pulang terlambat. Ningrum membukakan pintu tepat pukul sepuluh malam. Suaminya terlihat kelelahan. Ayam bakar yang disiapkannya untuk makan malam Hafiz tergolek di meja makan tanpa disentuh. Hafiz hanya menyesap teh hangat buatan Ningrum, lalu segera tertidur pulas di ruang tengah.


Ningrum melihat wajah suaminya. Dia ingin sekali bicara dan meminta maaf karena dompetnya belum juga ditemukan. Ningrum sudah mencarinya ke semua sudut di dalam rumah mereka. Bahkan Arka pun ikut membantu. Sayangya dompet itu tidak ada di mana pun.


Kasihan Hafiz, besok dia harus mengurus semua barangnya yang hilang supaya bisa segera dapat yang baru. Ningrum menyesal karena tidak bisa berbuat banyak. Sebelum tidur, dengan mata merah dan rasa lelah akibat seharian mengerjakan pekerjaan rumah, wanita dua puluh lima tahun itu mengambil kursi plastik yang ada di dapur. Menaruhnya tepat di depan lemari besar berisi baju-baju kerja milik suaminya.


Memang mustahil dompet itu ada di sana. Tapi, apa salahnya mencoba. Lagi pula, semua sudut rumah sudah disisir. Tidak ada tempat lain lagi yang bisa dilihat selain lemari yang tingginya melampaui dirinya.


Ningrum dengan hati-hati naik ke atas kursi. Mencoba melihat sambil berjinjit karena lemari itu terlalu tinggi bahkan meski dia sudah naik ke atas kursi. Sulit. Ningrum menarik napas. Dia tidak menyerah. Kembali berjinjit. Dia belum bisa melihat ke ujung lemari. Belum lagi matanya yang sudah sangat mengantuk. Tapi, dia belum mencoba. Dia melakukannya lagi, hingga semua terlihat oleh kedua matanya. Dia memastikan, di sana pun tak ada dompet.


Sayangnya, sebelum dia berhasil berdiri pada posisi yang benar, Ningrum terpeleset dan jatuh dari kursi. Suara benturan kepala dan badannya mengagetkan Hafiz. Wanita itu, mengaduh kesakitan dan setengah terkejut ketika melihat suaminya datang.


“Ngapain sih malam-malam?” Dengan rasa kantuk yang masih menggayut, Hafiz membantu Ningrum berdiri.


“Maaf, Mas.” Hanya itu. Wajahnya meringis menahan ngilu. Kepalanya pun sedikit berkunang. Sepertinya sangat tidak lucu ketika kejadian barusan menimpanya. Untung saja dia baik-baik saja. Sungguh tidak enak merepotkan suami. Apalagi jika sampai Hafiz marah dan bersungut-sungut hanya karena ulahnya.


Dan, bukan hanya itu saja yang sedang ada dalam pikiran Ningrum, dompet lelakinya bahkan jauh lebih penting. Dan Ningrum belum juga menemukannya. Ingin sekali dia mengatakan dan berterus terang, tetapi Hafiz justru melanjutkan tidur. Nyenyak, bahkan lebih nyenyak dari perkiraannya.


***


Ningrum mengaduh kesakitan, perutnya terasa mulas dan melilit. Dia sempat heran, karena biasanya haid tidak membuatnya kesakitan seperti itu. Apalagi sebulan terakhir dia memang terlambat datang bulan.


Ningrum menahan ngilu, masih memegang secangkir teh panas yang dibuatnya untuk Hafiz. Dia berjalan gontai menuju meja makan. Tidak jauh, tapi Ningrum cukup bersusah payah untuk mencapainya. Hanya berjarak beberapa langkah darinya, Hafiz menangkap wajah pasi istrinya dengan gemetar memegang secangkir teh. Wajah itu yang mengingatkannya pada sesuatu.


“Ningrum, Mas sudah...”


Sebelum kalimatnya selesai, cangkir keramik di tangan istrinya sudah jatuh menghantam lantai. Isinya tumpah. Dan tanpa diminta, Hafiz menangkap tubuh istrinya yang tiba-tiba jatuh lemas.


Ada apa?


***


Hafiz mengemas pakaian ke dalam tas jinjing berwarna hitam. Beberapa baju gamis milik Ningrum serta perlengkapan mandi. Tapi, tiba-tiba saja tangannya berhenti. Memilih berdiri dan menatap sekeliling rumahnya. Lengang.


Arka sudah dijemput oleh neneknya sejak Ningrum harus dirawat. Siapa yang menyangka jika wanita berparas lembut itu sedang hamil sebulan. Dan karena kejadian semalam, Ningrum harus merelakan janinnya dikuretase. Dia keguguran. Dan hafiz gagal membuat Arka girang karena sejak lama anak lelakinya ingin sekali punya adik.


Tapi bukan karena itu hatinya ngilu. Kehilangan calon buah hati itu sangat menyakitkan, terutama bagi istrinya. Tapi, yang sangat Hafiz sesalkan, Ningrum jatuh dari kursi dan mengalami benturan yang lumayan keras pada perutnya hanya karena dia ingin mencari dompetnya yang hilang.


Padahal, Hafiz sudah menemukan dompet itu sejak pagi kemarin. Tapi, karena malu dan tidak mau dianggap pelupa, maka dia pun urung mengabari istrinya.


Astgafirullah. Demi sebuah ego, Hafiz merelakan amanah Allah. Dia kehilangan semua. Calon bayi, kegembiraan Arka dan yang paling menyakitkan, dia kehilangan seseorang yang biasanya dengan cekatan membersihkan rumah, menyiapkan sarapan untuk mereka dan selalu menyediakan kemejanya setiap pagi. Tanpanya rumah tiba-tiba saja terasa sepi.


Dulu, perempuan itu seperti tidak pernah berarti. Pekerjaannya hanya begitu-begitu saja. Tidak seperti wanita lain yang mau bekerja keras menjadi wanita karir. Tapi, tanpa dia rumah begitu berantakan. Dia melirik mainan Arka yang berserak di lantai. Belum lagi cucian di sudut kamar mandi. Padahal wanita itu baru saja pergi sebentar, hanya sebentar.

 
Sayangnya Hafiz terlambat mengerti. Wanita berwajah ayu itu sekarang sedang terbaring lemah di salah satu bangsal rumah sakit. Menunggu waktu untuk sebuah tindakan yang amat menyakitkan. Dan semua itu terjadi hanya karena dirinya.

 

***

 

Comments

  1. Itulah... Penting sekali bagi suami maupun istri untuk membiasakan diri menahan marah.

    ReplyDelete
  2. Iya, mbak...harus berhati-hati dengan emosi... :)

    ReplyDelete
  3. penyesalan tinggal penyesalan...Saat tak ada baru dicari, saat ada dianggap tak berarti..hiks:(

    ReplyDelete
  4. Betul mbak, menyesal percum tak bergun yaa...hehe

    ReplyDelete