Langit berwarna cerah ketika Sukardi
memanggil anak sulungnya, Lastri. Kursi goyang berderit. Naik turun mengikuti
gerakan tubuhnya. Lelaki tujuh puluh tahun itu sesekali menyesap kopi hitam
yang mulai dingin. Matanya menyapu ruangan.
Semua masih sama. Lantai marmer yang
mulai kusam, kursi-kursi beralas rotan. Beberapa berlubang karena dimakan usia.
Di halaman, mawar-mawar merah muda menjatuhkan kelopaknya. Sore kemarin, Lastri
sudah menyapunya. Hari ini, ketika matahari beranjak naik, kelopak itu kembali
berguguran. Ah, waktu begitu cepat berlalu. Dulu, mawar-mawar itu hanya tumbuh
sebagian. Kini sudah tak tehitung berapa kelopak yang bermekaran.
![]() |
sumber |
Senyap. Sukardi mengusap rambutnya
yang memutih. Matanya menerawang. Terdengar langkah tergesa dari belakang.
Tirai tersibak ketika seorang gadis berwajah ayu hampir saja terjerembab tepat
di hadapannya.
“Kamu nggak bisa pelan-pelan, Nduk?”
Gadis berusia dua puluhan itu
tersenyum sambil menyeka keningnya yang basah. Sejak tadi dia bergumul dengan
kayu bakar dan asap yang mengepul di dapur. Bergegas ke teras saat suara bapak
menyentuh gendang telinga.
“Ada apa, Pak? Bapak sudah lapar?”
Tanya Lastri. Biasanya jam delapan bapak sudah sarapan. Sekarang, Lastri bahkan
masih menghaluskan bumbu sayur lodeh nangkanya di dapur. Kelapa tua yang
diambilnya dari pekarangan belum juga diparut.
Sukardi menggeleng. Menyuruh puteri
sulungnya duduk. Lastri beringsut gugup. Beberapa waktu lalu, kedua adik Lastri
yang duduk di bangku SMA berkasak kusuk di belakangnya. Lastri yang penasaran
segera mencari tahu. Menginterogasi kedua adiknya, Sekar dan Arya.
Katanya bapak ingin menjodohkan Lastri
dengan anak paman Husen, sahabat bapak. Padahal, Lastri sama sekali tak
mengenal siapa anak paman Husen kecuali Ali yang masih duduk di bangku SD.
Apakah Ammar yang disebut-sebut akan
jadi calon suaminya itu berwajah sama dengan Ali? Setidaknya tak berbeda jauh.
Ali bertubuh gempal dan berkulit gelap. Membayangkannya saja Lastri tak
sanggup. Sesekali Lastri bergidik ketika tanpa sengaja bertemu dengan Ali.
Bocah tujuh tahun itu sesekali datang ke rumah bersama paman Husen. Lastri
sempat melihat Ali mengusap ingus di hidungnya dengan lengan baju. Meninggalkan
bekas yang amat menjijikkan. Lastri berkali-kali menyesali pikirannya. Kenapa
juga harus membayangkan hal seburuk itu. Usia Ammar tentu bukan lagi anak-anak.
Sebagai seorang laki-laki dewasa, setidaknya dia lebih terawat. Tapi, apakah
tubuhnya akan segempal Ali?
Ah, Lastri bingung dibuatnya. Bulu
matanya yang lentik terapit saat terpejam. Menunggu kalimat pertama dari bapak.
“Lastri,”
“Iya, Pak,” jawab Lastri pendek.
Hatinya berdebar kencang.
“Bapak akan menikahkanmu dengan
Ammar. Anak sahabat karib Bapak, si Husen.”
“Tapi, Pak, Lastri belum siap,”
tukas Lastri cepat.
Mata Bapak terbeliak, “Usia kamu
sudah dua puluh tahun, Nduk. Bapak juga sudah tua. Kamu mau menunggu apalagi?”
Lastri sungguh tak siap menikah.
Tapi bukan karena usianya yang masih terbilang belia, hanya saja perasaannya
tiba-tiba mencekam membayangkan wajah Ammar.
Ammar memang jarang pulang. Sesekali
lelaki sarjana teknik itu bertandang ke rumah Lastri saat lebaran, sayangnya
Lastri tak pernah berjumpa. Sial bagi Lastri harus menerima pinangan orang yang
sama sekali tak dikenalnya.
Meskipun Sukardi menjamin keshalihan
Ammar, Lastri tetap saja enggan menerima. Apalagi Ammar saat ini tinggal jauh
dari kampungnya. Bekerja dan mengadu nasib di Jakarta. Lantas, setelah menikah,
pastilah Lastri akan diboyong ke ibu kota. Menjadi orang asing dan bersama
laki-laki asing pula?
Lastri bergidik. Bukan itu yang dia
inginkan. Bagaimana dia bisa meninggalkan bapak sendirian? Bocah-bocah tengil
yang merupakan adik kandungnya tentu tak segesit dia. Lastri terbiasa mengurus
semua sendiri sepeninggal ibunya. Lalu sekarang dia akan segera menikah dan
meninggalkan rumah? Sungguh itu adalah sebuah musibah.
“Ammar itu anak baik. Insyaallah dia
akan jadi suami yang bertanggung jawab, Nduk.”
Lastri ingin memotong kalimat bapak.
Namun urung. Gadis berlesung pipit itu bicara sendiri dalam hati. Protes. Yang
mau menikah adalah Lastri, kenapa justru bapak yang memahami Ammar? Kenapa dia
tak diberi kesempatan untuk mengenal Ammar sebentar saja. Sekadar bertemu dan melihat
wajahnya. Sungguh, Lastri tak bisa mengiyakan pernikahan itu begitu saja. Bukan
hal mudah menghabiskan masa tua bersama orang yang sama sekali tak dikenalnya.
Dulu,
ibu pernah bercerita pada Lastri tentang bapak. Ibu kenal bapak sejak kecil.
Keduanya dijodohkan. Bapak dan ibu pun tak sulit untuk jatuh cinta. Bunga-bunga
itu bermekaran ketika mereka beranjak dewasa. Pernikahan yang indah. Anak-anak
yang lucu. Masa tua yang dihabiskan dengan cinta. Lastri juga ingin jatuh hati
terlebih dulu. Dia juga belum terlalu tua. Bahkan gadis ibu kota masih
melanjutkan pendidikan ketika seusianya. Hanya gadis di kampungnya yang lekas
menikah selepas SMA. Itukan hanya sebuah tradisi. Tidak harus terjadi juga pada
dirinya.
“Pak,
boleh Lastri memikirkannya dulu?” Tanya gadis bertubuh mungil itu hati-hati. Dia
sungguh tak ingin menyakiti hati orang tuanya. Namun alasan demi alasan yang
disimpannya dalam hati membuatnya berani bicara.
Suara
angin menerbangkan daun kering terdengar mendesis di telinga. Lastri yang tak
sabar menunggu bapak mengiyakan, berubah pasi sebab lelaki yang sudah
menghabiskan masa tuanya sebagai seorang guru itu justru diam seribu bahasa.
Apa
bapak marah pada Lastri? Kenapa bapak tak menjawab permintaannya? Lastri
buru-buru meninggalkan teras. Mengusap sudut matanya yang tiba-tiba basah.
Apakah dia sudah kurang ajar pada orang tuanya?
Lastri
segera melanjutkan pekerjaannya di dapur. Matanya perih sebab menangis dan
terkena asap dapur yang mengepul. Sempurna sudah penderitaannya pagi itu.
***
Lastri
bersiap menutup pintu depan ketika tanpa sengaja seorang pemuda berkemeja rapi
mengucapkan salam. Membuat gerakan tangannya berhenti. Pintu yang terbuka
setengah kini sempurna menganga.
“Waalaikum
salam,” ucap Lastri sambil mengamati wajah asing di depannya.
“Bapak
ada?”
“Oh,
bapak baru saja berangkat ke masjid. Disusul saja, Mas.”
Lelaki
berwajah teduh itu mengangguk dan meninggalkan Lastri yang masih termangu.
Siapa pemuda itu? Sepertinya Lastri tak pernah melihat sebelumnya. Penampilannya
pun lebih rapi daripada pemuda di kampungnya. Wajahnya bersih, senyumnya ramah.
Ah, kenapa Lastri jadi memuji laki-laki itu berkali-kali.
Buru-buru
Lastri masuk dan mengunci pintu. Adzan Maghrib segera berkumandang. Lastri
buru-buru shalat dan segera berangkat menuju masjid. Malam ini, seperti
malam-malam sebelumnya, dia bertugas mengajari anak-anak di kampungnya mengaji.
Kesibukan yang sudah ia jalani selama lebih dari dua tahun terakhir. Itu hal
yang menyenangkan sekaligus menjadi pelipur sejak kepergian ibu. Setidaknya ia
tak lagi melamun di depan pintu ketika senja mulai tumbang. Ada kesibukan lain
yang membuatnya lebih bersemangat menghabiskan hari-hari ke depan.
Sukardi
mendehem beberapa kali sebelum akhirnya melanjutkan makan malam bersama ketiga
anaknya. Lastri mendongak. Mungkin bapak masih marah padanya. Sejak
perbincangan kemarin, bapak terlihat lebih pendiam. Tak banyak bicara. Biasanya
lelaki berbadan gemuk itu sering bergurau. Kali ini lebih banyak melamun sambil
sesekali menyesap kopi hitam di teras.
“Lastri,”
suara bapak terdengar sedikit serak.
Lastri
menoleh. Segera menelan sisa makanan di mulutnya.
“Kamu
tidak akan bapak jodohkan lagi. Bapak sudah bilang sama Ammar kalau kamu belum
mau menikah.”
“Ammar?
Kapan bapak bertemu dia?” Lastri tersenyum lega lantas bertanya heran.
Sepertinya tak ada tamu yang datang ke rumah. Lalu bapak bertemu Ammar di mana?
“Tadi
Ammar menyusul bapak ke masjid. Bapak bicara di jalan saat pulang. Katanya tadi
sudah ketemu sama kamu.”
DEG!
Hampir saja Lastri memuntahkan air
putih di mulutnya. Namun gagal sebab air itu terlanjur meluncur cepat melewati
kerongkongan. Membuatnya seketika terbatuk-batuk.
Sekar yang sejak tadi berada di
sebelahnya segera menepuk punggung Lastri.
“Kamu kenapa sih, Nduk? Selalu saja
terburu-buru melakukan sesuatu,” ucap bapak lirih sambil meninggalkan meja
makan.
Lastri menggeleng. Meneguk air putih
di gelas yang tersisa separuh. Benar. Dia terlalu terburu-buru dalam mengambil
keputusan. Tiba-tiba kepala Lastri pening. Teringat lelaki yang berkali-kali
dia puji dalam hati. Ah, Lastri! Kenapa juga terburu-buru memutuskan!
Be First to Post Comment !
Post a Comment