Di antara Dua Hati

Sunday, August 27, 2017

Di antara Dua Hati
Photo on Unsplash


Terkesiap. Wajahnya yang ayu tiba-tiba berubah sendu. Seperti ditampar petir di siang bolong, semua kegembiaraan yang sejak awal disulam berubah jadi berita duka yang tak bisa lagi terelakkan.

Raina, berdiri dengan kedua kaki gemetar. Butiran bening berdesakan di antara kedua sudut mata. Sudah sejak lima detik yang lalu, napasnya berubah sesak. Dia membuang pandangan. Mencoba melawan sakit yang tiba-tiba meremukkan ulu hati. Raina menatap kedua orang di depannya sekali lagi. Tidakkah ini hanya mimpi?


***


Raina sudah menyiapkan semua keperluan suaminya. Koper kecil berwarna hitam itu sudah sesak dengan beberpa kemeja, celana panjang, beberapa kaos oblong serta perlengkapan mandi. Tak lupa Raina menyelipkan kantong kecil berisi obat-obatan.


“Obatnya Rai taruh di bagian depan ya, Mas.” Raina setengah berteriak. Berharap Angga mendengar meski dari dalam kamar mandi.


“Kamu tadi bilang apa?”


Tiba-tiba Angga muncul dari balik pintu kamar mandi dengan rambut ikalnya yang basah. Raina tersenyum dan mengulangi ucapannya lagi. Sekali bahkan lebih pun Raina dengan senang hati akan menerangkan pada suaminya. Lelaki itu sudah terbiasa hidup dengannya. Semua kebutuhan Angga selalu disiapkan oleh Raina. Lelaki berperawakan tinggi itu hanya terima beres saja.


Sebagai seorang istri, Raina sama sekali tak pernah merasa keberatan. Itu memang sudah tugasnya sebagai perempuan yang telah menikah dan membina rumah tangga. Memasak, membereskan rumah dan mengurus anak-anak.


Raina bahkan rela resign dari tempat kerja demi keluarga kecilnya. Dia juga menolak ketika Angga menawarinya seorang ART. Raina mau melakukan semuanya sendiri. Wanita berperawakan mungil itu yakin bisa mengerjakan semua tugasnya dengan baik. Jadi tak perlu ada ART di rumah.


“Mas pergi beberapa hari. Apa tidak sebaiknya kamu mencari ART supaya rumah ini tidak terlalu sepi dan ada yang bisa membantumu di rumah?” Angga duduk di bibir ranjang sambil mengeringkan rambut hitamnya dengan sebuah handuk.


Raina menatap wajah suaminya, “Rai bisa melakukan semuanya sendiri, Mas. Mas jaga kesehatan, ya.”


“Bagaimana Mas bisa tanpa kamu, Rai.”


Ah, lelaki itu selalu saja bisa membuat hatinya meleleh. Angga memang sedang tidak menggombal. Tapi, kata-kata yang diucapkannya barusan terdengar sangat berlebihan di telinga. Bukankah semua istri juga melakukan hal yang sama?


“Jangan bilang begitu, Mas.” Raina tersipu, “O ya, jangan lupa juga pakai baju hangatnya, ya. Di sana udaranya dingin. Jangan sampai asmanya kambuh, ya.”


Angga menerima sweter tebal berwarna biru tua. Itu baju hangat pemberian Raina yang selalu dia pakai. Angga bilang sweter itu akan selalu dia bawa ke mana pun, sebab dengan baju tebal itu dia bisa merasakan kehadiran Raina.


Raina bukannya tidak senang dengan semua perlakuan manis suaminya, hanya saja baginya itu sangat berlebihan. Bukankah pergi beberapa hari untuk tugas ke luar kota sudah jadi hal biasa bagi beberapa orang? Tapi lelaki berkulit putih bersih itu terlalu lebay ketika mau berpisah dengan istrinya. Katanya dia akan sangat rindu serta kehilangan. Katanya dia akan sangat kesepian setiap kali ingin memejamkan mata dan tak menemukan Raina di sampingnya. Dan semua ucapan manis itu lama kelamaan terasa seperti rayuan gombal seorang lelaki kepada kekasihnya. Lebay dan berlebihan!


“Jangan berlebihan,” Raina menarik tangan Angga dan menggenggamnya lama, “Mas hanya akan pergi beberapa hari saja.” Katanya sambil tersenyum.


“Mas pasti akan sering menelepon.”


“Jangan sering-sering nanti mengganggu pekerjaan Mas di sana.”


Angga menggeleng, “Mas akan telpon setiap lima menit sekali.”


Ah, lelaki berwajah tampan itu selalu saja berlebihan. Benarkan?


“Sudah cepat tidur,” Raina mendorong Angga dan menyuruhnya segera tidur. Besok pagi-pagi sekali lelaki itu harus segera berangkat ke bandara. Jangan sampai karena terlalu banyak akting dia jadi bangun kesiangan dan ketinggalan pesawat.


“Mas mau melihat wajah Rai lama-lama. Besok kan Mas harus berangkat.” Katanya dengan wajah jenaka. Sebelah matanya mengerling manja.


Raina tertawa. Dia bisa pastikan dalam beberapa detik saja lelaki di hadapannya itu bahkan sudah mengeluarkan suara dengkuran lembut. Iya, itu hanya rayuan gombal seorang suami kepada istri. Bahkan tak perlu waktu lama untuk lelaki itu segera tertidur nyenyak dan tak ingat lagi dengan apa yang telah diucapkannya barusan.


***


Seorang lelaki gagah sedang berdiri di depan sebuah restoran ternama di ibu kota. Lelaki tampan dengan kemeja berwarna biru cerah itu melambaikan tangan kepada seorang perempuan yang baru saja turun dari sebuah taksi.


Perempuan itu balas melambaikan sebelah tangannya sambil melempar senyum hangat. Rambutnya yang tergerai hingga bahu bergoyang seiring kedua langkah yang semakin cepat. Ada cahaya di dalam bola matanya. Ada rindu yang telah lama disimpannya.


Perempuan itu kini telah berdiri di depan lelaki berkemeja rapi. Menyambut uluran tangan dan menerima kecupan di kedua pipinya.


Di antara lalu lalang kendaraan serta bising knalpot, seorang perempuan menatap keduanya dengan perasaan dipenuhi luka. Tak perlu memastikan terlalu lama, lelaki itu sudah bisa dengan mudah dikenalinya.


***


“Jadi isrti harus pandai merawat diri.”


“Iya, zaman sekarang perempuan di luar ganas-ganas!” Yang lain menimpali.


“Apalagi saya lihat kamu jarang banget melakukan perawatan.”


“Mending pekerjakan saja pembantu di rumah. Ngapain capek-capek mengurus semua sendiri?”


Wanita itu hanya tersenyum hambar. Tak pernah sekalipun ingin menanggapi omongan tetangga. Dia segera membayar belanjaan dan bergegas kembali ke rumah.


Tapi, ucapan mereka ada benarnya juga. Dia memang jarang sekali pergi ke salon. Bahkan wajahnya terlihat mulai berkerut. Hanya sedikit, tapi mungkin bisa jadi lebih parah jika tak segera dirawat.


Ah, kenapa dia harus mengkhawatirkan semua itu. Bukankah suaminya adalah lelaki setia dan selalu bersikap manis padanya?


***


Raina menangis. Wajahnya dipenuhi hujan. Lelaki di hadapannya sudah tak bisa lagi berkata-kata. Bahkan untuk meminta maaf pun lidahnya kelu.


Salahnya kenapa mudah sekali tergoda. Padahal Raina sudah mengorbankan semuanya demi keluarga mereka. Lihatlah, wanita berparas ayu itu selalu bangun lebih awal demi menyiapkan segala keperluan dia dan kedua anaknya.


Perempuan yang sempat singgah di hatinya memang terlihat lebih cantik dan menarik, tapi bukan berarti bisa menyingkirkan sosok Raina dari kehidupannya. Tidak. Angga benar-benar menyesali semua kesalahannya.


Perempuan itu adalah rekan satu kantor. Mereka kenal belum lama, tapi kedekatan itu berubah menjadi spesial ketika suatu hari Angga bermaksud mengantarnya pulang. Awalnya iba, tapi justru muncul rasa di antara keduanya.


Angga menatap wajah Raina yang masih dipenuhi hujan. Bahkan kini jauh lebih deras. Napasnya patah-patah. Bahkan dia tak sanggup menatap wajah suaminya. Ini terlalu sulit untuk dicerna. Bagaimana bisa lelakinya jatuh cinta kepada perempuan lain?


Dan Raina, tidak perlu menunggu lama untuk mengingat dan memastikan siapa lelaki yang merangkul seorang gadis di depan restoran kemarin.


***


Raina membuka pintu. Suara bel berbunyi dua kali sebelum akhirnya dia membuka kunci dan menatap seorang lelaki yang amat dikenalnya. Raina menarik napas panjang. Tiba-tiba saja sesak.


Lelaki itu tak sendiri, sebab di sampingnya, seorang perempuan dengan rambut tergerai hingga bahu tampak salah tingkah.


Raina ingin mempersilakan perempuan itu masuk. Tapi rupanya duri menancap dalam di antara tenggorokan serta lidahnya. Membuatnya sulit sekali tersenyum apalagi menyapa.


“Rai,” Angga angkat bicara.


Raina ingin memaki tapi makian tak pernah muncul dari mulutnya. Dia memilih diam dengan tarikan napas berat dan menunggu lelaki itu bicara.


“Mas tak bisa tanpa kamu, Rai. Mas menyesal.” Suaranya terdengar memohon.


Perempuan itu, perempuan yang sempat dilihatnya di depan sebuah restoran bersama Angga kini mendekat dan tiba-tiba memeluknya.


“Maaf, Mbak. Saya minta maaf karena sudah jatuh cinta pada orang yang salah,” suara tangisnya berhamburan, saling tindih dengan gemuruh di dada Raina.


Mereka, begitu mudahnya meminta maaf. Raina mungkin bisa saja memberi kesempatan kedua bahkan ketiga untuk lelaki pertama dan terakhir dalam hidupnya. Sayangnya, luka hati yang mereka sayat tak pernah kembali menutup apalagi mengering.


Raina menggangguk. Menatap kosong pintu rumahnya yang terbuka lebar. Bayangan masa lalu berhamburan. Seorang lelaki yang mengecup kening istrinya setiap kali akan berangkat kerja, dua gadis kecil berkuncir kuda yang menari-nari di antara keduanya. Semua keindahan itu mungkin belum bisa dia lupakan saat ini. Namun, sakit hati yang lebih besar nyatanya telah meruntuhkan banyak sekali harapan.


“Kenapa Mas bisa semudah itu jatuh hati sedangkan Rai bahkan tak butuh orang lain selain Mas untuk mengisi satu ruang kosong di dalam hati Rai.”

Comments

  1. Hadeeh..sakit gigi lebih baik dari sakit hati? no way..dua-duanya sama sakitnya. Yang gigi ada obatnya, kalau hati...

    ReplyDelete